Kamis, 24 Desember 2009

Tabel Periodik Elemen-elemen Kimia............


Allah berfirman di dalam al-Qur’an, ‘Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?’ (adz-Dzariyat: 20)

Betapa banyak tanda dan bukti ilmiah yang menunjukkan keberadaan Pencipta yang Maha Bijaksana, yang mengadakan langit dan bumi. Pada kesempatan ini kita akan mengupas salah satu bukti ilmiah tersebut, yaitu tabel periodik elemen-elemen kimia yang ditemukan oleh ilmuwan Rusia yang bernama Dmitri Mendeleev.

Hal pertama yang biasa dilihat seorang pelajar di laboratorium kimia adalah tabel periodik elemen. Ilmuwan Rusia membuat tabel elemen-elemen kimiawi dengan ukuran-ukuran atomnya, yang disebut tabel periodik. Pada waktu itu, tidak semua elemen telah ditemukannya dengan tabel, sehingga Mendeleev membiarkannya kosong.

Sampai akhirnya para ilmuwan sesudahnya mengisi tabel tersebut, seperti yang dibayangkan oleh ilmuwan Rusia bertahun-tahun sebelum mengungkapkannya. Tabel ini memuat seluruh elemen atom dengan angka dan unsurnya yang beragam. Angka atom maksudnya adalah angka tertentu yang terdapat pada inti atom, yaitu muatan-muatan listrik positif (proton). Bilangan inilah yang membedakan antara suatu atom unsur dengan atom unsur lain. Hidrogen yang kita anggap sebagai unsur paling sederhana itu di dalam inti atomnya ditemukan satu muatan listrik positif. Begitu juga, di dalam unsur yang disebut helium terdapat dua muatan, dan di dalam unsur lithium terdapat dua muatan. Kita tidak bisa meletakkan tabel unsur-unsur yang beragam itu kecuali dengan membangun hukum-hukum matematisnya yang menakjubkan.

Para ilmuan tidak mungkin menyebut sistem yang mengagumkan pada alam ini dengan nama ‘Periodic Chance’, melainkan Periodic Law (hukum periodik). Dengan berbagai kepastian dan sistem ini, maka kita tidak bisa mengignkari keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta. Karena dengan ilmu pengetahuan modern ini, mengingkari adanya Tuhan itu sama seperti mengingkari realitas!

Fisikawan Amerika, George E. Davis mengatakan, ‘Seandainya alam ini bisa menciptakan dirinya, maka itu berarti ia memiliki sifat-sifat pencipta. Dalam kondisi ini, kita terpaksa memercayai bahwa alam itu adalah tuhan. Demikiankan, kita akhirnya menerima keberadaan ‘tuhan’. Tetapi, tuhan kita ini akan tampak aneh: tuhan yang gaib sekaligus Artikelal! Saya lebih memilih untuk memercayai Tuhan yang menciptakan alam Artikel, dan ia bukan bagian dari alam ini, melainkan pengaturnya dan pengendalinya, daripada harus mengadopsi omong kosong seperti ini.’ (The Evidence of God, hlm. 71)

Allah berfirman, ‘Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki? Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan utang? Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya? Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.’ (ath-Thur: 35-43).................

Selasa, 08 Desember 2009

Belajar Dari Kegagalan Lincoln




Sebagian dari permainan hidup adalah keberhasilan dan kegagalan datang silih berganti. Keduanya hampir setiap saat menguntit hidup kita kapan dan di mana pun. Hampir tidak ada seorang pun yang tidak bertemu muka dengan salah satu dari keduanya.

Pergilirannya hanya soal siapa yang lebih dulu dan belakangan dalam perjumpaan. Mana yang lebih banyak dan lebih sedikit dirasakan. Atau kadarnya yang dimaknai berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Banyak orang yang sabar ketika disentuh kegagalan dan menjadi lupa diri di saat keberhasilan diraihnya. Ada pula yang justru menjadi penyabar di saat meraih sukses dan menjadi rapuh seiring dengan kegagalannya.

Sementara tidak sedikit yang sanggup tetap sabar di saat ia mengecap manisnya keberhasilan maupun saat menelan kepahitan hidup karena dihempas keterpurukan nasib. Tinggal satu kemungkinan yang paling rendah kadarnya, yakni orang yang tidak memiliki kesabaran sedikitpun baik saat ia sejahtera dalam keberhasilan maupun saat sengsara dalam “kesialan” nasib.

Mengapa bisa demikian?

Dalam satu perspektif, semuanya kembali pada seberapa besar seseorang memahami keduanya dalam bingkai intensitas keberagamaannya. Apalagi bila diformulasikan dalam dimensi iman yang kadang yazid dan kadang pula yanqush.

Lebih menukik pula, bahwa iman terletak di dasar hati yang dalam bahasa Arab disebut dengan qalb. Qalb makna dasarnya seperti kata para pakar bahasa Arab berarti “bolak-balik”. Makanya menjadi dapat dimengerti mengapa iman kadang gemuk kadang pula kurus, sebagaimana sipat qalb yang tidak konstan.

Soal iman dan kedalaman hati banyak terkait juga soal resistensi. Ada orang yang memiliki resistensi yang sangat sensitif dalam menyikapi segala persoalan, adapula yang biasa-biasa saja bahkan sama sekali tidak memiliki daya respon yang memadai.

Apabila tolok ukurnya adalah iman yang ideal, maka risistensi dan rerspons atau setiap persoalan akan sesuai dengan proporsi sebagaimana agama mengajarkan. Hampir dimafhum, bagi yang beriman, kegagalan dan keberhasilan disikapi sama dalam proporsinya.

Ketika ia sumringah dalam bunga-bunga keberhasilan, ia tidak lupa diri, tidak menepuk dada dan tidak berkacak pinggang. Tidak. Tetapi dimaknainya sebagai sebuah siklus kehidapan yang kapan saja dapat berubah ke arah sebaliknya. Nah, sebelum keberhasilan itu berganti kegagalan dan keterpurukan, seorang muslim segera meresponsnya dengan bersyukur dan memanfaatkan keberhasilannya itu di jalan Tuhan.

Lalu apabila kegagalan tengah menghampirinya, segera ia sadar bahwa ia tengah diuji kadar imannya. Maka responnya semakin mendekat kepada-Nya dengan memohon kesabaran dan ampunan. Dalam konteks ini, pesan Tuhan bahwa “kehidupan dan kematian sebagai sarana ujian siapa yang terbaik amalnya di antara mereka”, benar-benar dibuktikan.

Lain halnya yang terjadi pada si pemilik iman dan hati yang rapuh. Saat mendapat kebahagiaan dia rapuh. Saat kegagalan dialami bahkan lebih rapuh.

Kerapuhan saat keberhasilan ia genggam ditandai dengan antusiasme respon yang merusak. Menjadi lupa diri, menepuk dada dan berkacak pinggang. Seluruh waktunya dibuat pesta. Setiap sisi hidupnya adalah tawa dan kebanggaan.

Dunia seolah-olah milikinya yang utuh. Sampai ia lupa, bahwa pesta pasti berakhir. Ia menjadi jauh dengan kebajikan karena posisi Tuhan telah tergantikan oleh kesenangan dan hawa nafsu.

Ketika kemujuran berada di puncak, maka secara logika tidak akan ada lagi tangga yang mengantarkan siapa pun ke tempat yang lebih tinggi. Tetapi, stag berada di puncak atau turun perlahan atau jatuh terjungkal tragis menyakitkan.

Di saat orang itu terlena dengan kilauan duniawi, ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan tersungkur. Pada saat kehancuran yang tiba-tiba datang menimpanya, membuatnya terbelalak tak percaya. Ketidakpercayaan ini kemudian menggiringnya pada dua kemungkinan respon; kembali pada Tuhan dan menyadari kelalaiannya atau frustasi hilang semangat hidupnya.

Dengan kasat mata dapat diraba, orang yang pertama adalah type orang yang butuh Tuhan di saat kepepet dan dilupakan di saat lapang, entah di balik yang kasat itu. Sedangkan yang kedua adalah manusia tragis, sebab kalau tidak semakin jauh dari Tuhan, kemungkinan “gila” bisa jadi mengakhiri hidupnya dengan cara tercela. Nau’dzubillah.

Pendek kata, kegagalan dan keberhasilan hidup seperti kurikulum belajar. Ada yang menjadi lebih cerdas, biasa saja atau malah tidak sanggup menangkap esensi dari karakter yang hendak dibangunnya. Kegagalan dan keberhasilan sebenarnya hanya bagian dari cara Tuhan untuk menguji siapa di antara manusia yang lulus di medan hidup dalam relasi antara Khaliq dengan makhluk.

Agak sedikit riskan, kalau seorang muslim kalah dalam pertarungan soal gagal-berhasil. Apa yang harus kita katakan bila membaca riwayat Abraham Lincoln (1809–1865) yang non-muslim itu?

Presiden ke-16 Amerika yang memiliki banyak kelemahan dan pribadi yang dikenal sebagai tokoh dengan segudang kegagalan. Lihatlah rekor kegagalannya di bawah ini :

1830 gagal dan bangkrut dalam usaha bisnisnya.

1832 gagal dalam pemilihan wakil rakyat

1834 gagal lagi dalam usaha dagangnya

1835 isterinya sakit ingatan dan meninggal dunia

1835 gagal dalam meraih kursi presiden

1843 gagal meraih kursi kongres

1846 gagal lagi meraih kursi kongres

1849 gagal terpilih menjadi menteri pertahanan

1856 gagal meraih kursi senat

1856 gagal sebagai calon wakil presiden

1858 gagal lagi merebut kursi senat

1860 berhasil menjadi presiden

Seorang muslim harus lebih tegar dibandingkan Lincoln karena imannya mengajarkan keteguhan sebab ia memiliki senjata lengkap untuk bertarung di medan hidup di balik strategi imannya; syukur, sabar, qona’ah dan tawakkal.

Maka bercerminlah jangan semata-mata pada Lincoln, tetapi kepada para Nabi, para siddiqien, syuhada, para sahabat, tabi’in dan salafussalih.


oleh Abdul Mutaqin


Allahu a’lam.