Kamis, 22 April 2010

Di Manakah Letak Kebahagiaan? ..

Seorang petani dan istrinya bergandengan tangan menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyur air hujan.

Lewatlah sebuah motor di depan mereka. Berkatalah petani ini pada istrinya: "Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami istri yang naik motor itu, meskipun mereka juga kehujanan, tapi mereka bisa cepat sampai di rumah. Tidak seperti kita yang harus lelah berjalan untuk sampai ke rumah."

Sementara itu, pengendara sepeda motor dan istrinya yang sedang berboncengan di bawah derasnya air hujan, melihat sebuah mobil pick up lewat di depan mereka.
Pengendara motor itu berkata kepada istrinya: "Lihat bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil itu. Mereka tidak perlu kehujanan seperti kita."

Di dalam mobil pick up yang dikendarai sepasang suami istri, terjadi perbincangan, ketika sebuah mobil sedan Mercy lewat di hadapan mereka: "Lihatlah bu, betapa bahagia orang yang naik mobil bagus itu. Mobil itu pasti nyaman dikendarai, tidak seperti mobil kita yang sering mogok."

Pengendara mobil Mercy itu seorang pria kaya, dan ketika dia melihat sepasang suami istri yang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuran air hujan, pria kaya itu berkata dalam hatinya: "Betapa bahagianya suami istri itu. Mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini. Sementara aku dan istriku tidak pernah punya waktu untuk berdua karena kesibukan kami masing-masing."

Kebahagiaan tak akan pernah kau miliki jika kau hanya melihat kebahagiaan milik orang lain, dan selalu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain.

.. Bersyukurlah atas hidupmu supaya kau tahu di mana kebahagiaan itu berada ..

Selasa, 20 April 2010

Memulai dari Nol ..............


Sikap menentukan sukses atau tidaknya kita. Menurut manajemen IBM kualitas manusia ditentukan oleh 90 persen sikapnya (attitude) dalam menghadapi masalah. Sedangkan sisanya 10 persen ditentukan oleh kemampuan ilmunya (knowledge). Artinya, kesuksesan itu seringkali diawali dari sikap hidup yang benar dan tepat dalam menghadapi suatu peristiwa.

Bukan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi bagaimana menyikapi apa yang terjadi. Bukan karena kita ditakdirkan bernasib jelek, tapi bagaimana kita menggunakan segala potensi terbaik yang dimiliki untuk merespon suatu kondisi yang buruk menjadi lebih baik.

Jadi jika saat ini kita masih dalam keadaan kekurangan harta, ilmu, atau apapun, maka tidak cukup dengan hanya meratapi dan menyesalinya, selamanya hal itu tidak akan mengubah nasib. Namun, ketika kita menyikapinya dengan terus menerus memikirkan peluang yang bisa dikerjakan dan terus menerus sekuat tenaga memperbaiki diri, maka kita akan mampu mengubah keadaannya. Jika nasi sudah jadi bubur, ya kita tambahkan kacang, kerupuk, bawang goreng dan ayam goreng. Maka bubur nasi bisa kita ubah menjadi bubur ayam yang nikmat. Jika terlanjur basah, ya sudah ambil sabun, sampo lalu kita mandi, biar bersih sekalian. Jadi sekali lagi bukan keadaan yang buruk yang harus disesali, tetapi bagaimana mengubah keadaan buruk menjadi keadaan yang baik.

Lantas timbul pertanyaan bagaimana seharusnya mulai membangun attitude? Kebanyakan orang adalah produk zaman alias cuma jadi pengekor apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Mereka memilih menjadi orang yang tidak melahirkan sikap yang asli. Apapun yang mereka pilih, pakaian, pekerjaan, makanan, pikiran, semuanya hanya mengikuti apa yang sudah lebih dahulu ada. Jadi mereka kehilangan diri yang sebenarnya.

Handphone yang dipakai, sepatu yang dibeli, gaya hidup yang dipilih bahkan sampai agama yang dianut bukan merupakan pilihan yang kontemplatif, tapi lebih dikarenakan orang lain telah memakainya terlebih dahulu. Singkatnya mereka menjadi orang-orang yang dipenjara oleh masa lalu, dan memilih menjadi manusia-manusia pengekor.

Akibatnya jika ada penilaian dengan kacamata lain terhadap nilai-nilai yang sudah dianut maka yang terjadi adalah penolakan. Pada saat seorang direktur eksekutif mengajukan suatu langkah yang tidak populer dalam menentukan kebijakan perusahaan, maka yang terjadi adalah penolakan bukan apresiasi terhadap langkahnya. Ini akibat mereka terbiasa membenarkan sesuatu yang sudah lazim.

Sikap penolakan yang timbul disebabkan orang tidak memandang sesuatu itu dengan bersih dan jernih. Sikap memandang sesuatu dengan bersih dan jernih hanya dimiliki oleh orang yang berhati bersih dan berpikiran jernih. Atau dengan kata lain dirinya terbebas dari nilai yang sudah umum dan dia memiliki cara pandang, berpikir, bertindak dan membuat pilihan dengan melihatnya dari akar dan dasar permasalahan. Dia memulainya dengan menempatkan dirinya pada titik nol sehingga pikiran menjadi lebih jernih dan baginya segala sesuatu menjadi mungkin.

Dan Ramadhan adalah bulan yang dipersiapkan oleh sang Khalik untuk membina kita umat-Nya agar bisa kembali ke titik nol. Nol bisa juga berarti kosong. Bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik-Nya. We have nothing, zero, nol, kosong, nggak ada apa-apanya. Perut kita diperintahkan untuk dikosongkan selama bulan ini, maksudnya agar kita jadi lebih mampu mengosongkan juga otak kita dari pikiran-pikiran kotor dan menahan keinginan duniawi kita sehingga makin mendekatkan diri kepada Allah. Kosong juga berarti khusyu, terbebas dari ikatan materi keduniaan, yang ada hanya Allah sang Maha.

Allah telah mempersiapkan kita semua umat Islam yang beriman untuk menjadi sukses melalui puasa Ramadhan sehingga dengannya kita menjadi bersih hati, jernih pikiran dan mampu mengubah keadaan kita menjadi lebih baik. Mari kita manfaatkan momentum Ramadhan sebagai media kontemplatif kita dan meraih kesuksesan dunia akhirat.


omar@akk.co.id

Senin, 12 April 2010

Are You Quitters, Campers, or Climbers?

Jerit ketakutan bercampur dengan teriak gembira memenuhi seluruh arena. Histeris. Riuh rendah. Kemudian wajah sosok-sosok yang keluar dari salah satu wahana itu mencerminkan beragam ekspresi: puas dan gembira, lega, datar saja atau pusat pasi. Saya hanya memandangi. Jantung saya bertalu-talu. Deg-degan. Antara merasa tertantang dan takut. Antara keinginan untuk mencoba dan memilih ‘cari aman saja’. Akhirnya saya memutuskan untuk menaiki beberapa wahana yang cukup menantang, namun saya pertimbangkan cukup dapat saya tahankan secara perasaaan maupun fisik: Alap-alap (roaler coaster), perahu niagara-gara, halilintar dan arung jeram. Sedangkan untuk wahana kora-kora (perahu ayun), ontang-anting (ayunan berputar), kicir-kicir dan semua wahana yang saya prediksikan akan membuat saya pusing dan atau muntah saya hindari.

“Saya paling sensistif terhadap segala hal yang mengaduk-aduk isi perut atau bikin kepala pusing, karena akibatnya saya pasti muntah.” Demikian alasan saya. Bukan sekedar alasan, namun sesuatu yang sudah sangat saya pertimbangkan berdasarkan pengalaman dan pemahaman kondisi fisik.

Saya memandangi kora-kora –perahu besar- itu terus berayun semakin tinggi. Jerit histeris terus membahana. Wajah-wajah pucat menghias sebagian besar penumpang di dalamnya. Sebagian lagi menunjukkan ekspresi kemenangan dan bergaya menantang. Saya bertanya dalam hati, “Benarkah saya akan muntah jika menaikinya? Mungkin saja tidak, bukan? Dan kalau pun iya, wahana ini sangat layak untuk dicoba! Setidaknya berdasar pengalaman menaiki wahana sebelumnya, saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan untuk menahankannya: saya hanya perlu berteriak sekuat-kuatnya!”

Maka saya pun mencobanya. Meski saya gemetar ketika berada di dalamnya, saya puas sekali ketika perahu yang terus berayun tinggi dan seperti tidak akan pernah berhenti itu akhirnya selesai juga. Saya puas karena saya dapat merasakan sensasinya. Tapi saya lebih puas karena dapat menundukkan ketakutan dan persepsi saya sendiri. Meskipu turun dari sana, saya merasakan desakan kuat mengaduk-aduk lambung.

Di waktu yang lain, saya memandangi deretan ayunan yang terus berputar makin cepat dan berayun makin tinggi. Sebagian besar penumpang tampak gembira, tapi saya menemukan seorang gadis cantik dengan ekspresi sangat menderita. Saya bertanya kepada ukhti, teman seperjalanan saya yang pernah menaiki wahana ini sebelumnya: seberapa buruk wahana ini? “Much more worse than kora-kora! It felt never end up!” demikian katanya. Saya ragu. Memang benar, wahana ini satu putaran berlangsung hingga 15 menitan. Sanggupkah saya menahan perut teraduk-aduk tiga kali lebih lama di banding kora-kora? Saya memutuskan untuk nekat mencoba. Namun ketika saya sudah sampai di ujung depan antrian, saya sempat keluar dari gelanggang. Takut! Tapi kemudian saya mengulang antrian lagi. “Saya tidak akan pernah tahu rasanya seperti apa jika saya tidak mencoba!” Alasan itu saya patrikan kuat-kuat dalam hati. Dan ternyata, saya bukan hanya dapat menahankannya, saya bahkan menikmatinya! Sangat menikmatinya! Rasanya seperti terbang, melayang. Sambil memejamkan mata saya menikmati sapuan angin yang berkesiur di sekeliling saya. Ketika ayunan bergerak makin cepat dan tinggi, saya menikmati sensasi dan suara-suara gemerincing besi yang ditimbulkannya. Rasanya tidak ingin pernah berhenti!

Pada kesempatan berikutnya lagi. Bersama teman-teman, saya mengambil antrian di wahana kora-kora untuk yang kedua kali petang itu. Saya harus dapat menikmatinya, bukan sekedar menahankannya seperti pada kesempatan sebelumnya. Meskipun senang dan puas dapat menaiki kora-kora, sebelumnya saya tidak dapat menahan gemetar di kaki dan rasa mencelos di hati. Serasa isi perut saya dilolosi. Tapi kali ini, saya ingin merasakan sensasi yang berbeda. Saat perahu berayun makin tinggi dan lama (lebih tinggi dan lebih lama dari kondisi biasa, karena sudah mendekati waktu tutup) saya merasakan kegembiraan dan keasyikan yang luar biasa. Benar-benar serasa menaiki perahu meniti ombak! Oh tidak! Serasa terbang (sungguh saya sangat suka terbang dan melayang) Oh, bukan juga. Rasanya seperti diayun dan dininabobokkan. Saya gembira sekali berhasil mendapatkan sensasi berbeda, meskipun ketika turun, mual dan pusing itu tetap saja mendera.

Tapi dari semua itu saya belajar banyak hal: Bisa atau tidaknya kita melakukan sesuatu tidak akan pernah kita tahu jika kita tidak mencobanya. Menakutkan atau menyenangkannya sesuatu akan sangat tergantung dari pemahaman dan persepsi yang kita bangun sendiri.

Sekian tahun yang lalu.

“Saya tidak akan sanggup menjadi ibu bekerja kantoran seperti itu. Bagaimana saya akan dapat mendidik anak-anak saya?”

“Saya akan cari pekerjaan yang ‘aman’ saja: islami dan tidak ada praktek-praktek kotor membudaya!”

Beberapa tahun kemudian.

“Kamu tidak ingin kuliah lagi?”

“Hmm, saya takut tidak bisa. Tidak mampu. Soalnya saya tidak menguasai ilmu keahlian dasar dari kampus saya yang kemarin. Nanti kalau tidak lulus bagaimana? Apalagi saya kan lemah untuk urusan penelitian dan karya ilmiah. Khawatir nanti mentok di thesis!”

“Hei, kok begitu? Kamu meragukan karunia Allah berupa otak dengan potensi satu juta gigabyte itu? Cobalah! Tidak ada ruginya kan? Kalau kamu tidak pernah mencoba, kamu tidak akan tahu seberapa mampu dirimu!”

Beberapa waktu yang lalu.

“Kamu berani tidak menyatakan diri minta dilamar terlebih dulu?”

“Ah, takut! Menghancurkan harga diri perempuan itu namanya. Lebih baik tidak pernah tahu daripada harus tahu nantinya bahwa aku gagal dan sakit.”

“Oh, mengapa sudut pandangnya itu? Bukankah dengan menyatakannya –sekalipun ditolak nanti- kamu akan tahu dan tidak perlu penasaran lagi.”

Dan saya nekat. Kenyataannya, saya memang ditolak. Gagal. Sakit. Serasa dihempas ke bumi. Tapi saya tidak penasaran lagi. Tapi kemudian semuanya membuat saya lebih mengerti. Membuka apa yang selama ini tak tampak oleh mata ini.

Dialog-dialog itu, pernah menjadi bagian dari proses hidup saya. Sikap-sikap itu, pernah menghiasi pilihan-pilihan hidup saya. Ketakutan, perasaan tidak mampu, tidak berani mencoba dan sebagainya. Sengaja kalah, bahkan sebelum berperang. Tapi kini, semua yang telah saya lalui membuat saya berani memilih: saya akan selalu memilih untuk maju dibanding mundur. Gagal atau berhasil, itu urusan nanti!

Ibarat mendaki gunung, pilihan sikap yang diambil pun bisa berbeda-beda. Pertama, melihat gunung yang demikian tinggi dan terjal, seseorang mungkin akan memilih untuk memutuskan tidak pernah akan mendaki. Takut. Mustahil. Berat. Capek. Untuk apa? Sedang di kakinya suasana lebih sejuk, indah dan banyak teman?

Kedua, gunung itu memang tinggi dan terjal, namun pastilah ada tempat-tempat yang lebih indah dan asyik untuk bercengkerama di suatu tempat di atas sana. Dan berdasarkan pemikiran itu, ia mendaki. Kalau ada jalan yang enak, ia akan memilih jalan itu. Bukankah biasanya disediakan jalan yang nyaman bagi para wisatawan? Senang rasanya mendaki, ada berbagai tantangan dan ada cukup banyak teman. Saat tiba di hamparan taman, maka ia pun berkemah. Kalau perlu menetap. Di sini sudah cukup enak. Kita sudah cukup tinggi mendaki. Tak usahlah menempuh yang lebih berbahaya lagi, tanpa jaminan yang pasti.

Ketiga, wah, gunung ini tinggi dan ngeri. Pasti berat dan susah untuk mencapainya. Bisa jadi atau bahkan hampir pasti begitu. Tapi bukankah kita dikaruniai kreatifitas, semangat dan kemampuan untuk menaklukkannya? Mengapa tidak kita coba? Semua pengorbanan itu akan sangat ‘worthed’ untuk mendapatkan keindahan di puncak sana kan? Atau setidaknya kita akan mendapatkan pengalaman yang tak mungkin dapat dirasakan oleh mereka yang memilih untuk tidak pernah mendaki, atau mereka yang mendaki untuk berkemah di tempat yang nyaman.

Hidup dengan permasalahannya bagaikan mendaki gunung terjal dan berliku. Dapat atau tidaknya kita menaklukkannya akan sangat tergantung pada paradigma dan pilihan sikap kita masing-masing. Apakah kita akan memilih menyerah bahkan sebelum mendaki, atau tetap mendaki beramai-ramai dan berhenti ketika telah menemukan tempat yang nyaman, atau tetap terus mendaki bersama segelintir orang dari puncak yang satu ke puncak yang lain. Dari gunung yang satu ke gunung berikutnya.

Surga dan kenikmatan hari akhir juga seperti gunung yang bertingkat-tingkat. Untuk mencapainya seperti mendaki gunung. Mungkin ada yang merasa cukup puas di kakinya saja, di lerengnya atau tetap berusaha sekuat daya dan kreatifitas untuk menggapai puncaknya.

Semuanya adalah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki resiko dan hasilnya masing-masing. Tinggal seberapa besar kita memiliki nyali untuk memilih: Menjadi Quitters? (golongan yang cepat menyerah pada/menghindar dari tantangan?) Menjadi Campers? (Mendaki dan kemudian berhenti ketika merasa sudah cukup nyaman dengan sebuah situasi/ mencintai status quo) Atau mejadi Climbers? (Terus mendaki dan mendaki, hingga puncak pun terlalui. Aku bertanya dalam hati: Yang manakah diriku?

Azimah RahayuAzi, 19 Agustus 05, qabla wa bakda shubuh

Minggu, 11 April 2010

Jangan Pernah Mengeluh......

Barangkali pekerjaan paling enak selain tidur itu adalah mengeluh. Lho? Iya, soalnya dengan mengeluh, kita akan mengeluarkan semua unek-unek kita, melampiaskan apa yang sedang bercokol di hati kita saat ini. Dan kita akan merasa plong setelah mengeluh itu. Lho itu kan curhat? Beda dong sama mengeluh? Nah, inilah yang kadang saya sendiri tidak bisa membedakan antara curhat, mengeluh, konsultasi, ato... nah ini yang berbahaya, kalo ternyata perbuatan yang dilakukan itu dilandasi oleh ketidaksyukuran kita terhadap apa yang kita dapatkan saat ini, yang bisa membawa kita kepada apa yang disebut kufur nikmat.

Kalo kita curhat, ato konsultasi, menurut ana kita memang sedang berada dalam masalah, dan kita dalam kondisi ingin menghadapi masalah itu dan menyelesaikannya, serta dilandasi oleh pemahaman bahwa apa yang kita hadapi adalah bagian dari kehidupan, bagian dari skenario Allah terhadap diri kita. Sedangkan kalo mengeluh, menurut saya, itu lebih disebabkan oleh kelemahan mental kita dalam menghadapi hidup, ketidakmampuan kita dalam mengatasi problem yang ada, keinginan agar persoalan itu hilang tanpa ada usaha, bukan menyelesaikannya, dan juga bisa jadi karena ketidaksyukuran kita terhadap apa yang Allah anugerahkan kepada kita. Dan mengeluh biasanya itu disebabkan oleh masalah-masalah keduniawian. Gak punya mobil lah, gak punya hape keren kayak teman lah, gak punya perabot kayak tetangga lah, dan laen laen.

Siapa yang repot coba kalo gitu? Ya orang yang dikeluhi, kalo yang dikeluhkesahi adalah hal itu-itu saja, yang nampak bukan sebuah ketegaran hidup, tapi keinginan agar hidupnya berubah sekejap mata, tanpa ada usaha. Kita bisa bayangkan, bagaimana kalo tiap hari kita bertemu dengan orang yang omongannya gitu-gitu aja, mengelug terus. Katanya orang surabaya, "Gak onok syukure, ngersulo thok" alias gak pernah bersyukur, mengeluh terus.

Masalahnya kalo yang dikeluhkesahi adalah sama-sama gak bisa menyelesaikan masalah, maka hal itu bisa berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Sehingga, kita yang seharusnya berfikir bagaimana bermanfaat bagi orang lain, mencari penyelesaian masalah orang lain, malah sebaliknya.

Karena itulah, kita harus benar-benar memahami, hakikat dari kehidupan ini. Hakikat bahwa Allah-lah tempat kita bergantung. Hakikat bahwa kehidupan ini hanyalah sementara. Hakikat akan dunia yang fana. Hakikat akan hidup yang sebenarnya. Sehingga kita akan mendapat kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan yang semu....

Sabtu, 10 April 2010

Menikmati Setiap Episode Hidup .....


"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr (103):1-3)

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad waala aalihi washaabihii ajmai'iin,

Saudaraku yang budiman, langkah awal agar kita mampu menikmati setiap detik hidup ini, adalah dengan menumbuhkan sikap ridha (rela menerima kenyataan). Kebahagiaan dan kesedihan, keuntungan dan kerugian, akan terasa nikmat dengan sikap ridha. Mengapa demikian?

Kesengsaraan hidup walaupun dihadapi dengan sikap dongkol uring-uringan, keluh kesah, tetap saja kenyataan sudah terjadi. Pendek kata, disesali ataupun tidak, ridha maupun terpaksa, tetap saja kenyataan itu sudah terjadi dan dialami. Jadi, lebih baik hati kita ridha menerimanya.

Tentu saja ridha terhadap kenyataan yang dialami, bukan berarti pasrah total, sehingga tidak bertindak apapun. Itu keliru, ridha itu amalan hati, sedangkan pikiran dan tubuh kita wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhai Allah. Kondisi hati yang ridha sangat membantu menjadikan proses ikhtiar menjdi positif, optimal dan bermutu.

Saudaraku, orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental menerima kenyataan yang ada. Pikiranya tidak realitis, tidak menerima kenyataan dan tidak berpijak kepadanya. Sibuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Sungguh, suatu kesengsaraan dan kepedihan hidup yang dibuat sendiri.

Oleh karena itu, sadarilah hidup kita ini terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Kenangilah perjalanan hidup anda, ambilah kearifan dari setiap episode yang anda telah lalui. Kenanglah dengan kelapangan dada, dinginnya emosi, dan keikhlasan. Tidak ada gunanya menyelimuti kenyataan hidup ini dengan keluh kesah. Itupun tidak menyelesaikan masalah, bahkan menambah luka yang anda alami. Tetapi atasi dengan hati yang ridha, sehingga kita menikmati setiap episode hidup kita sambil berikhtiar memperbaiki kenyataan pada jalan yang Allah ridhai. Wallahu'alam bish shawab.(and/yn)***

oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Kamis, 08 April 2010

Jabatan Adalah Amanah ..........



Kekuasaan atau jabatan apapun yang kita sandang adalah amanah Allah yang tak bisa kita telantarkan begitu saja. Kadang, sangking besar atau tingginya jabatan kita lupa makna dan hakekatnya. Sehingga kita terkadang bertindak sewenang-wenang, bahkan di luar kewajaran. Tak jarang kita menganggap bawahan kita sebagai 'orang lain', bukannya sebagai partner sejajar yang diharus dihamba Allah-kan juga. Atau bahkan kita menganggapnya lebih rendah. Sungguh celaka bila kita merasa lebih tinggi atau hebat dengan bawahan kita, kalau hanya jabatan kita lebih tinggi.

Kita harus ingat, serendah apapun jabatan bawahan kita, mereka adalah hamba-hamaba Allah. Jangan-jangan mereka lebih dari pada kita dihadapan Allah. Karena barang kali dalam bekerja mereka lebih ikhlas dibanding kita, lebih jujur dalam mengambil kebijakan. Atau bahkan mereka para bawahan kita itu lebih sederhana hidupnya.

Rasulullah Saw. sendiri dalam kesehariannya, kendati memiliki kedudukan yang agung tak tertandingi -sebagai Nabi dan Rasul-Nya- tak menjadikan sahabatnya atau siapapun, bahkan musuhnya sebagai orang yang lebih rendah. Beliau tahu, bahwa kemuliaan seseorang itu pada nilai taqwanya. Bukan pada atribut duniawi; pangkat, jabatan, prestise atau apaun lainnya.

Nabi Muhammad Saw tak pernah membedakan Bilal (sahabat Nabi dari kalangan budak) dengan Abu Bakar al-Shidiq (sahabat Nabi dari kalangan pembesar suku). Tak aneh jika dalam sebuah kesempatan beliau menasehati agar kita dalam melihat sesuatu itu pada nilai taqwanya. Bukan pada bentuk luar atau atribut sosial yang menempel pada diri kita.

"Tidaklah seseorang memiliki kelebihan atas orang lain kecuali dengan din (nilai agamanya) dan ketaqwaan. Semua manusia adalah anak cucu Adam. Dan Adam itu diciptakan dari tanah. tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atasd orang non-Arab, tidak ada keutamaan bagi orang non-Arab atas orang Arab, orang berkulit putih atas orang kulit hitam, dan oarang berkulit hitam atas orang kulit putih kecuali dengan taqwa". Demikian pesan Nabi Saw itu ditulis Imam Ahmad dalam Musnadnya.

Karena itu, sebaiknya kita lebih berhati-hati dengan pangkat, jabatan dan apa saja yang melekat pada kita. Boleh jadi tanpa kita sadari semua (pangkat, jabatan, gelar, dll) itu membuat kita terhina dihadapan Allah Sang Pemilik Segalanya.

Dalam Al-Qur'an, Allah Swt juga mengingatkan kita agar tidak terjebak pada simbol-simbol dunia. Sebab dunia beserta simbol-simbolnya hanyalah peramainan dan lelucon saja. Jadi tak perlu dimasukkan dalam hati. "Sesunggguhnya kehidupan dunia adalah permainan dan senda-gurau,"seru Allah dalam surat Muhammad.

Selanjutnya, terhadap atribut duniawi itu, pertanggungjawabnnya tidak saja selesai di dunia. Karena kalau di dunia bisa dimanipulasi, bisa aas (asal atasan senang). Pertanggungjawaban itu akan diminta lagi oleh Allah di akherat kelak. Tentu tebih berat lagi bagi mereka yang sering mengatasnamakan wakil rakyat dan demi kepentingan rakyat! (Saif Amin)

sumber : eramuslim

Berdamai dengan Takdir............


Apakah manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?”

Jika kita memiliki sebuah keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh usaha untuk mencapainya, namun ternyata Allah tak juga memperkenankan kita meraih impian tersebut, apakah lantas kita berhak untuk ‘mencaci’ Allah? Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?

Seorang teman beberapa saat lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan beasiswa internasional bahwa dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yang pertama. Rekan saya tersebut telah lima kali mengikuti program ini, sejak menyelesaikan S1 Hukum di sebuah universitas kesohor di Bandung. Dan yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu hingga ke tahap-tahap akhir.

Yang terakhir diikutinya –tahun ini—ia telah melewati seleksi awal, dari seribu orang, tinggal tersisa seratus. Dari seratus orang yang tersisa, ia lolos ke lima puluh orang yang mengikuti seleksi di Jakarta. Di sana, ia pun terpilih dalam lima kandidat penerima beasiswa kuliah di Austria. Tapi, apa lacur… pengumuman terakhir tidak mencantumkan namanya.

Kekecewaan, jelas saya bisa menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes yang ia jalani menunjukkan bahwa ia mampu dan layak. Usaha yang ia lakukan pun bukan lagi sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tidak terhitung lagi berapa besar biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian tes itu, dari penyediaan berkas, akomodasi dan transportasi, juga kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi, sekali lagi, ia mengalami kegagalan pada saat-saaat terakhir.

Dari teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu menera pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yang terjadi pada diri kita.

Ketidaklulusan teman saya dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu. Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa kali menunjukkan bukti bahwa ia layak menerima. Tapi sekali lagi, pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.

Inilah yang saya katakan pada teman saya tersebut.
Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.

Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi. Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi akuntan sebagaimana dari awal saya sekolah di SMEA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya ‘tersesat’ ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha untuk ‘berdamai’ dengan-Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.

Kalaupun hingga saat ini saya tak juga ‘mampu’ untuk kuliah, bukan lantas saya berhak dengan semena-mena mematikan impian saya yang saya anggap ‘mulia’ ini. Konon, saya telah memaksimalkan usaha saya. Namun, biaya adalah hal pokok bagi saya, dan rasanya memang tak cukup hanya dengan tekad.

Pernah ada seorang teman yang mengatakan, “yang penting adalah niat.” Tapi, untuk saya, hal itu tidak berlaku. Masih kurang besarkah niat saya? Seberapa besar kemampuan niat untuk seorang dengan ekonomi di bawah pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat SMEA pun saya harus pontang-panting mengejar bayaran-bayasan SPP dan sebagainya.

Saat ‘uang tabungan’ saya raib begitu saja, saya masih bisa menghibur diri, “Nantilah, saya akan melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. Saat ini, yang harus saya lakukan adalah menabung.” Tapi, lagi-lagi, kehendak Allah bicara lain. Ijazah SMP dan SMEA saya ikut raib ulah sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu saya sangat ‘bodoh’ dengan bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT yang mengaku akan memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan sesudah itu, saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.

Dengan semua itu, impian saya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya tidak boleh demikian, menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat saya terantuk kegagalan, yang saya lakuikan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.

Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha. Dari ‘menulis,’ saya menemukan satu pelajaran berharga. Pertama kali menulis, tulisan saya ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan mencoba. Saya menulis dan menulis kembali. Hingga… akhirnya tulisan saya diterima sebuah media, berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya berikutnya. Di tahun 2001 untuk pertama kalinya ada sebuah penerbit yang mau membukukan tulisan-tulisan tersebut.

Tulisan-tulisan saya yang tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk sampah, bukanlah sebuah kegagalan, tetapi proses. Jika tidak melewati fase itu, saya yakin saya tak akan pernah sampai pada kondisi yang sekarang.
Kegagalan bagi saya adalah sebuah perjalanan. Terserah apakah kita akan berhenti sebelum sampai ke tujuan atau kita melanjutkannya dengan berbagai beban konsekuensi dari perjalanan itu sendiri.

Saya mengambil sebuah perumpamaan. Kita pernah sekolah di SD, lantas melanjutkan ke SMP, SMA, hingga kemudian kuliah. Jika telah lulus kuliah dan melamar pekerjaan, apakah kita memakai ijazah SD dan SMP untuk melamar pekerjaan? Tentu tidak. Kita hanya memakai ijazah SMA atau sarjana.
Jika demikian adanya, mengapa kita harus susah-susah sekolah di SD dan SMP? Mengapa kita tidak langsung saja kuliah atau sekolah di SMA?

Ini pertanyaan konyol, memang. Tapi bukankah benar demikian? Tanpa melalui SD dan SMP, kita tak akan pernah sampai ke SMEA atau kuliah. Kendati tidak dipakai dalam melamar pekerjaan, bukan lantas berarti ijazah SD dan SMP kita tidak berguna, bukan?

Begitulah dengan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah sesuatu yang ‘tidak berguna,’ sebab kegagalan itulah yang menempa kita, memberi pembelajaran kepada kita tentang kematangan, konsep persaingan… atau barangkali Allah tengah menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah penentu segala urusan. Kegagalan membuat kita semakin mengimani takdir.

Belajar berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yang ‘dikaruniakan’ Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Kita tidak memerlukan ijazahnya, tetapi kita menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah ‘ijazah’ kesuksesan, tetapi ‘proses’ dan ‘menjadi.’

Konon, seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program di komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alenea itu?
Silakan Anda menjawab sendiri.

Hidup bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu adalah semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu”.

sumber : eramuslim

Bahwa Tak Ada Yang Abadi ....................

Ketika Matahari menampakkan diri di pagi hari, dan terus menerpakan sinarnya ke setiap sudut alam hingga puncaknya pada tengah hari. Menjelang senja, ia pun mulai bersiap-siap meninggalkan singgasananya untuk bertukar peran dengan rembulan yang akan bercahaya menerangi malam hingga fajar. Bulan tak sendiri, ia ditemani oleh bintang-bintang yang berkelipan, belum lagi lintasan-lintasan benda langit lainnya yang menjadikan alam atas teramat mengagumkan. Begitu seterusnya, tak pernah matahari menguasai sepanjang hari, bulan dan bintangpun demikian. Karena sesungguhnya, tak satupun mereka berhak memiliki hari sepenuhnya.

Terkadang, langit cerah disertai mentari pagi yang menghangatkan menjadi mimpi terindah setiap makhluk di muka bumi. Tapi, tidak akan pernah mentari seterusnya berseri dan langit cerah, karena bukan tidak mungkin atap dunia itu berubah mendung dan menghitam, mencekam dan menebar ketakutan. Angin sejuk sepoi-sepoi yang terasa menyegarkan saat belaiannya menyentuh kulit, sesaat kemudian bisa berputar dan berputar membentuk tornado yang dalam sedetik meluluhlantakkan semua yang terhampar di bumi. Air laut yang tenang, pantai yang indah dengan ombak yang melambai indah, hamparan pasir yang halus, disaat yang lain bisa menjadi gelombang air dahsyat yang menenggelamkan sejuta harapan, meninggalkan bekas yang memilukan.

Bunga-bunga yang hari ini terlihat indah merekah, satu dua hari kemudian akan layu dan memudar warnanya, bisa karena hempasan angin, sengatan matahari atau terusik unggas. Dedaunan akan tetap berwarna hijau bila ianya tetap menyatu dengan tangkainya, tatkala ia luruh dan jatuh ke tanah, mengeringlah ia. Embun pagi yang bening di ujung daun, dalam beberapa detik takkan lagi terlihat. Setelah jatuh, habislah ia. Tinggal menunggu esok pagi kan datang tuk bisa menikmati kembali beningnya. Unggas pagi, berteriak lantang pertanda dimulainya hari, tidak jarang, mereka membangunkan insan yang setengah malas dan kantuk masih di sudut mata. Ketika siang, saat manusia-manusia bergegas dalam segala bentuk aktifitas mereka, makhluk lain pun menjalankan perannya masing-masing.

Menjelang senja, sinar merah kekuningan seperti meminta perhatian makhluk bumi untuk bersiap menyambut malam. Tak hanya manusia, hewan-hewan bahkan binatang melata pun beriringan menuju rumah mereka, menikmati malam, memandangi rembulan dan bintang-bintang, dan mendengarkan hewan-hewan malam bersahutan mewarnai malam yang panjang, hingga menanti datangnya fajar. Manusia-manusia aktif yang terkadang tak kenal lelah, terlelap dalam buaian selimut, mimpi, harapan serta do’a. Hingga esok, ada yang terbangun, dan ada yang tetap terlelap, menutup mata untuk selamanya. Tugasnya sebagai manusia telah selesai. Tak ada manusia yang memiliki sepenuhnya hari, tak ada makhluk yang memiliki sepenuhnya kehidupan. Dan tak ada jiwa yang memiliki sepenuhnya apapun yang sesungguhnya bukan berasal darinya. Semua perubahan, kejadian, dan perputaran peran itu meyakinkan kita, bahwa tak ada yang abadi.

Bayi mungil, lucu dan menyenangkan saat lahir, beranjak dewasa, kemudian tua dan akhirnya mati. Kemudian, generasi berikutnya hadir, hingga diakhiri lagi dengan kematian. Itulah hidup. Seperti matahari yang tak pernah selamanya bersinar, seperti daun yang mengering saat tanggal dari tangkainya, seperti embun yang meski sedemikian indah, hanya sekian detik saja umurnya. Seperti hujan yang mungkin setiap hari turun tak pernah berhenti, tak pernah setiap yang diciptakan Tuhan di alam ini, berkuasa untuk tetap memiliki kejadiannya seutuhnya. Karena mereka hanya makhluk, yang semuanya terus berubah dan berujung pada akhir. Tak seperti Pencipta semua makhluk itu sendiri, karena Ianya tak berawal, maka tak ada akhirnya pada-Nya. Sedangkan kita, atau makhluk lainnya, memiliki awal, dan sudah pasti tertulis sudah akhirnya. Kita hanya tinggal menunggu waktu.

Sebagai makhluk, tak sekedar untuk hidup Allah menciptakannya. Setiap ciptaan Allah, memiliki peran yang menjadi amanahnya. Kita semua, berdiri, berdiam diri, tertidur, berjalan, berhenti sejenak, kemudian berjalan lagi, sesekali istirahat hanya untuk menorehkan catatan diri. Tinta merah atau biru yang hendak kita pakai untuk mengisi lembaran putih catatan itu, hak sepenuhnya ada di tangan kita. Jikalah matahari selalu mempunyai catatan biru dalam buku raport-nya, begitu juga dengan rembulan, langit dan semua benda yang menghiasinya, hewan-hewan yang senantiasa ikhlas menjadi bagian hidup manusia, tetumbuhan, bumi tempat berpijak, lalu kenapa kita tak pernah iri untuk senantiasa memperbaiki catatan merah kita di hadapan Allah?

Makhluk-makhluk Allah yang lain, manusia-manusia yang berlomba menorehkan tinta biru dalam catatan akhirnya, sungguh teramat sadar bahwa waktu yang Allah berikan teramat singkat, hingga tak pernah terpikir olehnya untuk berbuat satu hal pun yang bisa menyebabkan lembaran putihnya ternoda oleh titik merah. Bersujud dan berdo’a, mencari keridhoan Allah di setiap detik, setiap langkah, dan jalan yang dilaluinya, agar tak ada sedikitpun kebencian di mata Allah keatasnya. Belajar dari manusia-manusia terdahulu yang telah mengukir nama mereka di hati Allah, semestinya saat ini, kita terus berjuang keras untuk bisa mendapatkan satu tempat di hati-Nya untuk menggoreskan nama kita.

Harta yang banyak, bukan jalan untuk bisa mendapatkan tempat di hati Allah. Kendaraan yang bagus, jabatan tinggi, status sosial terhormat, perhiasan dan berjuta keindahan dunia, juga tidak. Bukan semua itu yang akan menjadikan kita makhluk berarti di mata Dia. Karena sesuatu yang tak abadi, tak mungkin bisa menjadi bekal menuju keabadian untuk bertemu Yang Maha Abadi. Jiwa yang bersih, jiwa yang tenang, adalah jiwa yang pertama hadir dalam bentuk jasad manusia saat pertama ditiupkan. Hanya dengan kembali dengan kebersihan dan ketenangan semula, ia bisa diterima disisi Yang Maha Abadi. Maka, belajar dari semua ketidakabadian selain Allah, jangan pernah menghabiskan waktu (yang teramat sebentar ini) yang diberikan Allah ini, tanpa torehan tintas kebaikan. Mungkin besok, tak ada lagi waktu buat kita menggenggam tinta biru. (Bayu Gautama, berjam-jam di tengah kebun teh Sukabumi, karena tak yakin besok masih ada waktu untuk kembali ke tempat ini

sumber : eramuslim

Berikan dan Lupakan

Suatu malam hujan turun dengan lebat diiringi angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Malam itu telepon berdering di rumah seorang dokter. ''Istri saya sakit,'' terdengar suara minta pertolongan. ''Dia sangat membutuhkan dokter segera.''

Si dokter menjawab, ''Dapatkah bapak menjemput saya sekarang? Mobil saya sedang masuk bengkel.'' Mendengar jawaban itu, lelaki tersebut menjadi berang. ''Apa?!'' katanya dengan marah. ''Saya harus pergi menjemput dokter pada malam yang berhujan lebat seperti ini?''

Coba Anda renungkan cerita inspiratif diatas.

Seperti yang sudah saya paparkan dalam rubrik ini bulan lalu, kita senantiasa meminta sesuatu kepada orang lain. Sayangnya, kita seringkali lupa untuk memberi. Kita tak sadar bahwa apapun yang kita berikan sebenarnya adalah untuk diri kita sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Di dunia ini tak ada yang gratis. Segala sesuatu ada harganya.

Seperti halnya membeli barang, Anda harus memberi terlebih dahulu sebelum meminta barang tersebut. Kalau Anda seorang penjual, Anda pun harus memberikan pelayanan dan menciptakan produk sebelum meminta imbalan jasa Anda. Inilah konsep ''memberi sebelum meminta'' yang sayangnya sering kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari.

Padahal ''memberi sebelum meminta'' adalah sebuah hukum alam. Kalau Anda ingin anak Anda mendengarkan apa yang Anda katakan, Andalah yang harus memulai dengan mendengarkan keluh kesah mereka. Kalau Anda ingin karyawan atau bawahan Anda bekerja dengan giat, Andalah yang harus memulai dengan memberikan perhatian, dan lingkungan kerja yang kondusif. Kalau Anda ingin disenangi dalam pergaulan, Anda harus memulainya dengan memberikan bantuan dan keperdulian kepada orang lain.

Orang yang tak mau memberi adalah mereka yang senantiasa dihantui perasaan takut miskin. Inilah orang-orang yang ''miskin'' dalam arti yang sesungguhnya. Padahal, di dunia ini berlaku hukum kekekalan energi. Kalau Anda memberikan energi positif kepada dunia, energi itu tak akan hilang. Ia pasti kembali kepada Anda.

Persoalannya, banyak orang mengharapkan imbalan perbuatan baiknya langsung dari orang yang ditolongnya.Ini suatu kesalahan.!!!!!

Dengan melakukan hal itu, Anda justru membuat bantuan tersebut menjadi tak bernilai. Anda mempraktikkan manajemen ''Ada Udang Di Balik Batu.'' Anda tak ikhlas dan tak tulus. Ini pasti segera dapat dirasakan oleh orang yang menerima pemberian Anda. Jadi, alih-alih menciptakan kepercayaan pemberian Anda malah akan menghasilkan kecurigaan.

Agar dapat efektif, Anda harus berperilaku seperti sang surya yang memberi tanpa mengharapkan imbalannya. Untuk itu tak cukup memberikan harta saja, Anda juga harus memberikan diri Anda, dari hati Anda yang paling dalam. Jangan pernah memikirkan imbalannya. Anda hanya perlu percaya bahwa apapun yang Anda berikan suatu ketika pasti kembali kepada Anda. Ini merupakan suatu keniscayaan, suatu hukum alam yang sejati.

Sebetulnya semua orang di dunia ini senantiasa memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Namun, kita dapat membedakannya menjadi dua tipe orang. Orang pertama kita sebut sebagai orang yang egois. Merekalah orang yang selalu meminta tetapi tak pernah memberikan apapun untuk orang lain. Orang ini pasti dibenci dimana pun ia berada.

Jenis orang kedua adalah orang yang juga mementingkan diri sendiri, tetapi dengan cara mementingkan orang lain. Mereka membuat orang lain bahagia agar mereka sendiri menjadi bahagia. Ini sebenarnya juga konsep mementingkan diri sendiri tetapi sudah diperhalus. Kalau Anda selalu memberikan perhatian dan bantuan kepada orang lain, banyak orang yang akan menghormati dan membantu Anda. Kalau demikian, Anda sebenarnya sedang berbuat baik pada diri Anda sendiri.

Bagaimana kalau Anda membaktikan diri Anda untuk menolong anak-anak terlantar dan orang-orang miskin? Ini pun sebenarnya adalah tindakan ''mementingkan diri sendiri dengan cara mementingkan orang lain.'' Anda mungkin tak setuju dan mengatakan, ''Bukankah saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya kan bekerja dengan sukarela.''

Memang benar, Anda tidak mendapatkan apa-apa secara materi, tetapi apakah Anda sama sekali tidak mendapatkan apa-apa? Jangan salah, Anda tetap akan mendapatkan sesuatu yaitu kepuasan batin. Kepuasan batin inilah yang Anda cari. Anda membantu orang lain supaya mendapatkan hal ini.

Jadi, apapun yang kita lakukan di dunia ini semuanya adalah untuk kepentingan kita sendiri. Orang-orang yang egois sama sekali tak memahami hal ini. Mereka tak sadar bahwa mereka sedang merusak diri mereka sendiri.

Sementara orang-orang yang baik budinya sadar bahwa kesuksesan dan kebahagiaan baru dapat dicapai kalau kita membuat orang lain senang, menang, dan bahagia. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat menikmati kemenangan kita dalam jangka panjang. Inilah hukum Menang-Menang (win-win) yang berlaku dimana saja, kapan saja dan untuk siapa saja.



Pengembangan-Kepribadian@yahoogroups.com