Senin, 26 Juli 2010

Karakter Pemimpin
























Bismillaahirrahmanirrahiim,
Ya Allah Yang Maha Gagah, yang menggenggam langit dan bumi, yang menguasai segala kejadian. Jadikan pertemuan ini pertemuan yang Engkau ridhoi. Menjadi terbukanya hati-hati yang tertutup, tercahayainya hati yang gulita, melembutnya hati yang membatu dan jadikan pertemuan ini membuat hati kami saling mengasihi di jalanMu. Amin.

Saudara Sekalian, Bangsa Indonesia diciptakan oleh Allah SWT ternyata begitu strategis, besar dan berpotensi. Kalau kita lihat negara-negara tetangga, maka mereka tidak lebih besar dari Indonesia. Jika peta Indonesia diletakkan di Eropa, maka 13 negara akan tertutup. Kalau kita pindahkan peta Indonesia ke Afrika, maka 8 negara akan tertup. Maka aneh kalau negara sebesar ini selalu terpuruk, dan yang paling menyedihkan komunitas terbesar di negeri kita adalah umat Islam. Maka pilihan kita hanya satu harus bangkit bersama-sama.

Untuk bisa bangkit dan berubah, maka kita membutuhkan kekuatan keteladanan. Siapapun yang berbicara Indonesia harus berubah, maka satu hal yang harus dijelaskan adalah keteladanan apa yang sudah diberikan. Jangan harap merubah dan mengendalikan bangsa, kalau belum mampu merubah dan mengendalikan diri serta keluarga.

Jauh sebelum Rasulullah memimpin, beliau sudah diberi gelar Al Amin, yaitu seorang yang sangat kredible. Pemimpin adalah memimpin pengikut. Supaya pengikut bisa mengikuti pemimpin, maka pengikut harus mempunyai kepercayaan kepada pemimpinnya. Tidak mungkin bangsa ini bergerak kalau rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya. Syarat kredibilitas minimal ada 3 :

1. Jujur-Terpercaya.
Bagi orang jujur, tidak akan pernah ada bohong, dusta dan janji yang tidak ditepati. Tidak ada amanah yang dikhianati, karena waktu dan tenaganya dimaksimalkan untuk kemajuan yang pesat. Orang yang tidak jujur, waktunya akan habis untuk menyembunyikan ketidakjujurannya. Sekali kita bohong, maka bohong itu akan mencuri dan menjadi penjara waktu kita. Orang yang tidak jujur penyebabnya adalah kurangnya iman pada dirinya. Maka jangan sampai kita memilih pemimpin yang tidak mengenal Allah, karena dia akan tertipu oleh dunia.

2. Cakap-Memuaskan.
Semakin banyak kekecewaan karena kesalahan, maka semakin turun kepercayaan. Kalau kita ingin menjadi seorang pemimpin, kita harus membuat track record yang baik. Orang yang kredible selalu akan berkhidmat untuk memberikan kepuasan kepada orang lain. Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaum tersebut, sehingga yang terfikir adalah bagaimana kita bisa melayani bukan ingin dilayani. Nabi Muhammad SAW kekayaannya banyak dan kekayaannya tersebut digunakan untuk melayani umat.

3. Kreatif-Inovatif
Seorang pemimpin yang saat ini dipuji, boleh jadi dalam tempo satu tahun ke depan akan dikutuk, apabila tidak bisa menjadi bagian dari solusi. Kita harus selalu mengembangkan kemampuan diri kita untuk menjadi bagian dari solusi. Sebagai warga negara, kita harus berjuang untuk mengembangkan diri, kreatif dan menjadi bagian dari solusi untuk negeri ini.

Mudah-mudahan Allah mengkaruniakan kepada kita menjadi orang yang jujur-terpercaya, cakapmemuaskan dan kreatif-inovatif dalam rangka mencari solusi bagi negeri ini.

Saudara sekalian, salah satu keterampilan bangsa kita yaitu senang bertengkar dengan saudara sendiri. Perbedaan kecil yang muncul akan mengakibatkan dampak yang tidak baik dan mudah menimbulkan pertengkaran. Sekarang kita sangat membutuhkan persatuan, sehingga bisa lebih mudah mencari jalan keluar setiap permasalahan yang ada. Yang menjadi masalah bukan masalahnya tersebut, tetapi bagaimana sikap kita terhadap masalah. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada, maka kita harus menggunakan 3 semangat:

1. Semangat Bersaudara.
Kalau kita bersaudara sebagai bagian dari negeri ini, maka yang muncul adalah rasa kasih sayang, dan ingin selalu membantu. Perbedaan pendapat jangan dianggap sebagi musuh. Jadikan perbedaan pendapat itu sebagai pintu hikmah bagi diri kita.

2. Semangat Solusi.
Yang harus dipikirkan adalah kita ini bagian dari masalah atau salah satu jalan keluar dari masalah yang ada. Untuk bisa memecahkan masalah maka kita butuh kedewasaan.

3. Semangat Sukses Bersama.
Sukses itu bukan untuk dirinya sendiri. Sukses itu jika kita menjadi jalan bagi kesuksesan orang lain. Pemimpin yang sukses, jika dia bisa mengantarkan yang dipimpinnya menjadi orang sukses.

oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Rabu, 14 Juli 2010

Membuka Komunikasi, Menyatukan Hati .......

Membangun jalan komunikasi memang tidak selamanya mudah, perlu waktu bahkan bantuan dari pihak lain. Berikut beberapa hal yang bisa membantu suami istri agar dapat membuka dan melancarkan komunikasi, diantaranya:

Menyamakan pandangan

Komunikasi merupakan modal awal perkawinan yang akan berimbas pada kelancaran berkomunikasi pasangan suami istri. Dalam rumah tangga yang akan dikomunikasikan adalah pilihan-pilihan hidup yang sesuai dengan kemauan dan keinginan, sedangkan kemauan dan keinginan adalah buah keyakinan kita.

"Sehingga tidak mungkin komunikasi bisa baik, kalau pandangan soal baik dan buruk sudah beda. Terutama baik dan buruk yang sangat prinsipil," jelas Ustadz Ahmad Sahal Hasan Dosen STAIDI al-Hikmah Jakarta.

Oleh karena itu, tambahnya menyamakan visi dan misi adalah hal yang sangat penting dan harus dilakukan sebelum pernikahan atau paling tidak sejak awal pernikahan. Persamaan pada hal yang besar ini, seringkali mampu menyingkirkan krikil-krikil kecil dalam perjalanan perkawinan, termasuk soal kelancaran berkomunikasi.

Memahami latar belakang dan karakter pasangan

Menurut Evi Elviati, Psi. Karakter adalah hal dasar yang sudah ada pada diri seseorang sejak lahir. namun, dengan jenis apapun karakter seseorang tetap mampu berkomunikasi, karena komunikasi merupakan ketrampilan. Latihan terus menerus akan menjadikan orang trampil berkomunikasi.

Untuk latihan ini, pihak lain dalam hal ini suami istri dapat saling memberikan bantuan. Misalnya, bila suami nampak susah berkomunikasi karena karakternya yang sangat pendiam, maka istri dapat membantu suami mengungkapkan isi hatinya. "Kita harus bisa menyiasatinya, sehingga bila ada apa-apa dia mau membicarakannya. Suka tidak suka, bilang. Kalau setiap kali kita beri stimulasi, lama-lama dia akan bisa," ungkap Evi.

Dalam hal perbedaan latar belakang, misalnya budaya. Lagi-lagi diperlukan kebesaran hati masing-masing untuk menerimanya. Kalaupun kemudian mengganggu komunikai, misalnya yang satu tidak biasa berbicara pelan, sedangkan yang lainnya tidak biasa bicara keras-keras, perlu dilakukan pembiasaan atau penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan kedua belah pihak.

"Keduanya harus bisa saling menyesuaikan tidak bisa sekedar memaksakan kehendak, sementara kita sendiri tidak mau berubah. Jadi kita lihat mana yang bisa diubah, kita ubah," papar Evi.

Meluruskan persepsi

Kesalahan persepsi seringkali menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Ketika suami pulang larut malam, istri langsung saja marah tanpa mendengarkan alasan suami. Apapun yang dikatakan oleh suami dianggapnya bohong. Padahal suami mengatakan alasan benar dan tidak dibuat-buat.

Kejadian ini kerapkali terjadi, padahal seharusnya tidak perlu terjadi bila ada proses klarifikasi. "Jangan punya persepsi buruk dulu. Dalam Islam kan ada yang namanya tabayun," kata Evi lagi.

Begitu pun sikap suami yang terlalu merendahkan istri, karena punya persepsi memang begitulah kedudukan istri. Persepsi ini perlu diluruskan karena Islam meninggikan derajat kaum ibu. "Supaya persepsi kita pas dengan persepsi Islam, kita harus merujuk pada praktek Rasulallah dan para sahabat," ujar Ustadz Ahmad Sahal.

Dengan mempelajarinya, bisa jadi prilaku pasangan yang sebelumnya tidak kita sukai dan kita anggap tidak baik, ternyata sesuai dengan tuntunan Islam. Itu artinya ia harus mengubah persepsi yang selama ini tertanam dibenaknya.

Membangun Empati

Menempatkan diri pada tempat orang lain, cukup efektif untuk menjadikan kita mengerti parasaan dan pikiran orang lain. Pertimbangkanlah apakah bila kita mengatakan sesuatu pada suami atau istri yang mungkin cukup sensitif ia tidak akan tersinggung? Atau apakah waktu dan kondisinya tepat untuk mengungkapkan isi hati?

Mungkin boleh dibilang kurang berempati bila seorang istri mengajak suami berdiskusi panjang lebar, sementara suami baru saja pulang kerja dan terlihat sangat lelah. Saat kita mengerti perasaan dan pikiran pasangan, maka bahasa yang kita ucapkanpun akan lebih mengena bagi dirinya. Komunikasi tentu akan jauh lebih efektif.

Bersikap Asertif

Orang yang asertif tahu perasaan dan keinginannya, serta berani mengungkapkannya tanpa melukai perasaan orang lain. Seorang istri sebenarnya mempunyai hak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Dan istripun seharusnya mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya pada suami, tanpa harus mengabaikan rasa hormat terhadap suami.

Seringkali seorang istri mempunyai keinginan, tapi enggan untuk menyampaikannya kepada suami, dan istri berharap suami akan mengetahuinya sendiri. Padahal, bagaimana mungkin suami dapat mengetahui keinginannya kalau tidak diberi tahu. "Kalau tidak ada komunikasi, manalah dia tahu apa yang kita mau. Dia kan tidak tahu isi hati kita. Karena yang tahu isi hati kita, hanya Allah dan kita, " tegas Evi.

Mendekatkan diri pada Allah

Upaya mendekatkan diri pada Allah urgensinya sangat besar, sekaligus sebagai simpul semua usaha melicinkan jalan komunikasi bagi pasangan suami istri. "Karena kita yakin yang memegang hati itu adalah Allah. Kalau hubungan kita dekat dengan Allah, maka hati pasangan kita ada dalam genggamanNya. Kalau dia kecewa dan kesal pada kita, dengan izin Allah, allah akan cairkan kebekuan hatinya," jelas Ustadz Ahmad Sahal.

Artikel ini diambil dari Majalah Ummi No.1/XVII Mei 2005/1426

Jumat, 09 Juli 2010

Paradigma Baru Mengenai Kuat Lemah

Sepuluh tahun yang lalu, di University of Nebraska dilakukan penelitian atas 1000 mahasiswa di dalam hal kecepatan membaca baik sebelum ikut pelajaran "speed learning" maupun setelah mendapatkan pelatihan tersebut. Dari seribu peserta itu, yang paling lambat 90 kata per menit sedangkan yang paling cepat 350 kata per menit.

Setelah mendapatkan pelajaran "speed learning", menurut anda siapa di antara keduanya yang mendapatkan prosentasi kenaikkan kecepatan membaca?

Semua orang bahkan para periset hebat pun akan mengatakan bahwa yang paling tinggi kenaikkan prosentase dalam hal membaca cepat adalah yang paling lemah (90 kata per menit), kenyataannya.........

Yang awalnya membaca 90 kata per menit naik menjadi 150 kata per menit yang awalnya mampu membaca 350 kata per menit menjadi 2900 kata permenit!

Apa makna dari hasil penelitian ini? Paradigma yang mengatakan bahwa memperbaiki kelemahan akan membuat seseorang menjadi kuat, perlu dipertimbangkan lagi, karena penelitian diatas membuktikan bahwa usaha memperbaiki kelemahan hanya akan membuat seseorang menjadi "rata-rata" (mediocre) sedangkan usaha yang berfokus melatih "kekuatan" akan menjadikan seseorang berkinerja istimewa (excellence).

Dalam kehidupan kita sehari hari selama ini, baik di rumah, di kantor , di mana saja di dunia ini, kita kuatir akan "kelemahan" kita, kita selalu berpikir bahwa apabila kita memiliki sesuatu berarti "kekuatan" dan kalau tidak memiliki sesuatu berarti "kelemahan" padahal belum tentu demikian, coba saja perhatikan hal berikut :
  • Kalau kita tidak bisa menyanyi, apakah itu kelemahan kita? bukan, kalau kita tidak menjadi penyanyi.
  • Kalau kita tidak bisa melukis, apakah itu kelemahan kita? bukan,kalau kita tidak menjadi pelukis.
  • Kalau kita tidak bisa menghadapi orang face to face apakah itu kelemahan kita? bukan, kalau peran kita bukan untuk menghadapi orang face to face.
  • Kalau kita tidak bisa mengemudikan pesawat terbang, apakah itu kelemahan kita? bukan, kalau kita tidak menjadi pilot.
  • Kalau kita tidak teliti apakah itu kelemahan kita? bukan, kalau peran kita tidak membutuhkan ketelitian seperti safety, finance dlsb.
  • Kalau kita keras kepala, apakah itu kelemahan kita? bukan, kalau peran kita sebagai pengacara atau apa saja yang membutuhkan kekeraskepalaan kita.
Contoh di atas jelas bahwa "setiap mahkluk di bumi tanpa kecuali , diberikan kelebihan maupun kekurangan". Kalau saja kita dapat mengembangkan kelebihan kita menjadi kekuatan dan memilih peran yang sesuai dengan kekuatan kita, maka kinerja masing masing orang akan menjadi optimum. Akan tetapi sebaliknya, apabila kita memilih peran yang salah maka kekurangan kita akan menjadi kelemahan yang berakibat pada kinerja yang buruk. Ayo, gali, temukan dan kembangkan kelebihan kita masing masing agar menjadi kekuatan dan carilah peran yang sesuai dengan kekuatan tersebut.

FOKUS PADA KEKUATAN DAN SIASATI KELEMAHAN.

Kamis, 08 Juli 2010

Jangan Pernah Menyerah......


senyumnya tulus. Kata-katanya bertenaga. Ia menatap hidup dengan penuh pengharapan. Seolah tak ada kata putus asa dalam kamus kehidupannya. Pemahamannya tentang Islam cukup mendalam. Sebelum bertindak ia akan berpikir berulang kali, menimbang segala sisi maslahat dan mudharatnya. Saya bersyukur bisa mengenal sosok itu. Saya merasa banyak tercerahkan dan terinspirasi oleh laki-laki itu. Baginya, hidup harus dijalani dengan penuh optimis. Tak boleh ada celah untuk pesimis. Jika hari ini cita-cita belum bisa diraih masih ada hari esok untuk berbuat. Begitulah, laki-laki itu selalu tampak mengembang senyum di setiap kali bertatap muka dengan orang lain.
Sebagai seorang suami, ia merasa tanggung jawab yang ia emban bukan main-main. Amanah harus dijalankan sebagaimana mestinya. Saat saya tanya bagaimana ia mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin membengkak, ia menjawab dengan senyumnya yang khas, "Selama kita berusaha, insya Allah, akan dibukakan jalan oleh Allah."
Dulu, sebelum menikah, ia sering mengajak saya berbagi ilmu dan pengalaman hidup. Sehingga dari seringnya interaksi itu, saya menggali banyak ilmu darinya. Dan itu berlansung sampai hari ini. Saya mengenal ia seorang yang cukup cerdas dan memiliki wawasan yang luas. Walau dari sisi akademis, ia bukan termasuk yang cemerlang, yang bisa menyelesaikan kuliah S.2 tepat waktu, tapi itu tidak mengurangi rasa simpati dan kagum saya padanya. Saat ini ia tengah menempuh studi S.2 di sebuah Universitas ternama di Kairo. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, ia harus mengorbankan waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar dengan bekerja setiap harinya.
Saat saya tanya, apakah ia tidak mendapat kiriman dari kampung, ia menjawab, "Abang malu meminta pada orang tua. Selagi masih bisa, abang tidak ingin memberatkan orang tua di rumah. Apalagi kondisi orang tua juga susah dan terkadang kekurangan."
Ah, seandainya ia tak terkendala dari sisi ekonomi, saya yakin kuliah S.2-nya tak akan macet, ia akan menyelesaikannya tepat waktu dengan hasil yang cemerlang. Tapi, semua sudah ditentukan oleh Sang Maha Pengatur. Sebagai hamba kita harus menjalaninya dengan penuh kelapangan dada dan tersenyum.
Kisahnya mengingatkan saya dengan beberapa sosok lain yang saya kenal. Kisah-kisah mereka begitu menggugah. Pengorbanan mereka begitu menyentuh hati saya.
"Cinta itu dibuktikan dengan pengorbanan. Jangan mudah katakan cinta, jika belum berani berkorban."
Diantara kisah cinta tersebut adalah, seorang suami yang mengalah merawat anak demi kelancaran dan kesuksesan studi istrinya. Atau istri yang mengalah tidak kuliah agar ia maksimal dalam merawat dan mendidik anak. Setelah sang suami menyelesaikan kuliah barulah istri melanjutkan kuliahnya. Jika mereka mengikuti sebuah idealisme, tentu mereka tidak akan mau mengorbankan cita-cita itu. Tapi demi sebuah kemaslahatan yang lebih besar dan untuk kebaikan pendidikan anak, mereka rela untuk menunda meraih cita-cita. Disitu pulalah nilai sebuah perjuangan dan pengorbanan yang kelak berbuah manis.
Dinatara mereka, mungkin dulu adalah orang-orang yang cemerlang di langit prestasi. Nama mereka menjadi sebutan banyak orang. Dipuja dan dimuliakan, namun kini itu semua seolah redup dan hilang. Orang tak lagi mendengar nama mereka. Tak lagi menyebut nama mereka. Bahkan orang-orang sudah melupakan diri mereka.
Dulu, mereka mungkin begitu ingin ideal setelah menikah. Urusan menjadi mudah, kuliah lancar dan masa depan cerah. Tapi, setelah mereka memasuki gerbang pernikahan mereka baru menyadari bahwa ujian kehidupan dimulai, perjuangan dan pengorbanan mereka akan dilihat dan dinilai.
Betapa banyak orang mungkin yang sukses membubuhkan nilai-nilai cemerlang di atas kertas. Namun keilmuwan, sikap, kata-kata dan interaksinya dengan orang banyak justru menjatuhkan nilai pribadinya. Ia tak dihargai bahkan dilecehkan. Pengakuan di atas kertas belum mampu membuktikan hakikat dirinya.
Dulu, mereka mungkin begitu berharap setelah menikah studi mereka akan lancar tanpa terkendala sedikitpun. Semua bayang-bayang yang enak-enak muncul dalam benak fikiran.
Tapi, saat mereka dalam suasana ujian, Allah berkehendak istri mereka hamil. Dan sebagai seorang suami yang paham akan kondisi istri, suamilah lah yang bertugas untuk mengurus rumah, memasak, mencuci sampai kondisi istri memungkinkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah. Betapa sulitnya untuk bisa belajar dengan tenang saat perut terasa tidak nyaman, bahkan hanya gara-gara mencium sesuatu yang menusuk di hidung, istri merasa mual dan ingin muntah.
Seperti yang pernah saya alami saat istri saya hamil sewaktu masa ujian. Belajar tidak bisa focus dan tenang, karena perut yang selalu terasa mual. Begitu juga saat dalam perjalanan ke kuliah untuk mengikuti ujian, terasa mual dan bahkan mau muntah di jalan. Dan saat duduk di ruang ujianpun demikian, kondisi perut yang tidak nyaman membuat fokus menjadi berkurang atau hilang. Atau disaat masa-masa ujian Allah mentakdirkan sang istri harus melahirkan. Sehingga persiapan ujian menjadi berantakan. Atau saat masa ujian, tiba-tiba si kecil terkena demam dan pada saat bersamaan suami-istri ujian, maka satu pihak, suami atau istri harus mengorbankan diri tidak ikut ujian.

Beruntung jika dalam hal biaya ada orang tua, keluarga, dan kerabat yang mau menanggung, membiayai setiap bulan. Saat butuh, tinggal telpon orang tua minta dikirimkan uang sehingga tidak perlu pontang-panting, mondar-mandir, pusing-pusing untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari. Sedangkan mereka yang tidak pernah sama sekali mendapatkan kiriman dari orang tua atau mertua, tidak mendapatkan beasiswa dan bantuan, kalaupun dapat tidak seberapa, harus mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan fikiran untuk mencari uang, demi mencukupi kebutuhan keluarga. Terkadang berangkat kerja pagi dan pulang di sore atau malam hari.
Lantas apakah keadaan ini membuat mereka menyesal dengan pilihan mereka menikah saat kuliah? Saya perhatikan, tidak ada sedikitpun goresan kesedihan dan penyesalan di wajah dan dalam rangkaian kata-kata mereka. Bahkan mereka sangat bahagia dan selalu tersenyum, bersemangat dan penuh optimis menjalani hidup.
Ustadz Ahmad yang setiap hari membuat bakwan, lalu mengantarkan ke rumah makan, selalu tampak tegar dan bersemangat. Bang Arjun yang setiap hari, di pagi harinya bekerja mencuci mobil dan sore harinya keliling dari rumah ke rumah untuk menjual kebutuhan sehari-hari seperti tahu, tempe, srei, toge, kerupuk dllnya selalu tampak gigih dan bersemangat.
Apakah mereka juga tidak ingin sukses seperti yang lain? Saya yakin, mereka juga ingin sukses di bangku kuliah. Ingin mendapatkan nilai-nilai cemerlang, namun kondisi yang mereka hadapi saat ini belum memudahkan langkah mereka mewujudkan keinginan itu.
Bahkan Ustadz Abdul Wahid, salah seorang kandidat Master di sebuah Universitas ternama, rela bekerja menjadi cleaning service di KBRI demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ada juga yang berkeja di rumah makan sebagai tukang masak setiap hari, mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore atau dari jam 3 siang sampai jam 12 malam.

Kalau mereka hanya duduk di rumah, menunggu rezki turun dari langit, menunggu seseorang datang di pintu rumah lalu menyodorkan sebuah amplop berisi berlembar-lembar uang dollar, tentu kondisi mereka tak akan berubah. Karena rezki itu tidak akan datang dengan angan-angan dan kemalasan, tapi harus dengan bergerak, berusaha dan bekerja keras.
Memang mereka tidak mendapatkan nilai-nilai istimewa di atas kertas. Tidak mendapatkan angka 8, 9 atau 10 di bangku kuliah. Bahkan mereka dinobatkan sebagai orang-orang yang gagal dalam studi. Tak punya prestasi yang bisa dibanggakan. Tapi dalam kehidupan lain, di dunia yang lain, nilai mereka begitu tinggi dan berharga. Bahkan mungkin mengalahkan orang-orang yang berprestasi di bangku kuliah. Jika orang-orang itu mendapatkan nilai dengan cara belajar yang tekun, menghafal dan menguasai teori keilmuwan, maka mereka telah menerapkan dalam keseharian mereka.
Bagaimana mereka bersabar menjalani hidup di tengah himpitan sulitnya ekonomi, di tengah beragam permasalahan, di tengah beragam desakan-desakan kebutuhan, bagaimana perjuangan mereka dalam mendidik istri dan anak serta memelihara keluarga dari api neraka, dstnya.
Di mata dan dalam hati orang-orang yang mencintai mereka, mereka memiliki nilai yang begitu berharga. Nilai kesabaran, nilai pengorbanan dan kerja keras serta nilai keuletan mereka. Di mata istri dan anak-anak mereka. Di mata Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin yang mengenal mereka. Yang menyadari dan merasakan hasil pengorbanan mereka untuk keluarga dan orang-orang yang mereka cintai.
Nilai ketaatan mereka pada Allah, nilai shalat 5 waktu berjamaah, nilai membaca dan mengamalkan al-Quran, nilai mencintai Rasul dan mengamalkan sunnah beliau, nilai mendidik istri, mendidik anak, nilai bekerja untuk menafkahi keluarga, nilai pengorbanan waktu, fikiran dan tenaga, dll-nya.
Semoga tulisan ini mampu mengetuk hati kita untuk tidak membiarkan rasa pesimis hinggap dalam diri dengan kondisi yang saat ini dihadapi. Yakinlah kesulitan itu akan berlalu, masa-masa susah itu tidak akan sia-sia jika kita lewati dengan jiwa perkasa dan hati yang teguh. Bahkan, kita akan menjadi orang-orang yang matang dan bijak melebihi usia kita. Kita hanya perlu menghadapinya dengan jernih dan hati yang mantap. Apa yang dulu yang pernah kita cita-citakan dalam hidup, yakinlah bahwa suatu saat nanti kita pasti bisa meraihnya. Percayalah akan kemampuan diri kita. Kita hanya perlu bersabar menjalani untuk sampai pada tujuan kita.
Sebenarnya mereka juga mampu seperti yang lain, yang sukses dalam studi. Hanya saja kondisi mereka saat ini tidak mempermudah jalan mereka kesana.
Tapi percayalah, jika hari ini kita belum bisa meraihnya, yakinkan diri bahwa esok kita pasti bisa meraihnya. Jika esok belum dapat diraih, jangan pesimis, selama kita masih hidup, selama kemauan itu masih kita jaga dan pertahankan, insya Allah suatu hari nanti, kita akan tampil juga di puncak kegemilangan seperti yang pernah kita dambakan dulu.
Sebuah ungkapan bertenaga semoga bisa memompa semangat kita, "Selama cita-cita dan kemauan keras untuk mencapainya masih Anda jaga, yakin dan percayalah bahwa suatu hari nanti cita-cita itu akan berada dalam genggaman Anda."
NB: Tulisan ini terinspirasi dari pertemuan penulis dengan seorang senior kemaren sore saat berkunjung ke rumah beliau. Sebuah pertemuan yang berkesan.
Wassalam,
marif_assalman@yahoo.com
 

Oase Iman Lainnya