Minggu, 29 April 2012

Pentingnya Bicara Positif

"Ma...ada surat dari sekolah," celetuk bungsuku riang selepas pulang sekolah. Kubuka perlahan surat yang disodorkannya kepadaku.
"Ada Sains Fair di sekolah bulan depan. Aku mau buat percobaan apa ya Ma?" lanjutnya penasaran seraya merapikan tas sekolahnya. Aku baca dengan teliti surat yang kini ada di tanganku.
Tiga hari berlalu, kami masih bingung menentukan topik percobaan. Belum ada gambaran sama sekali tentang percobaan seperti apa yang akan kami pilih. Masih 'blank'.
Kami terus mencari ide-ide yang dianggap menarik. Sedikit demi sedikit, secercah cahaya mulai tampak. Jalan mulai terbuka. Perlahan namun pasti, kami berusaha memilah dan memilih beberapa topik, menimbang dan memutuskan satu per satu sumber-sumber yang kami dapat. Alhamdulillah akhirnya kami berhasil mendapatkan dua buah topik percobaan yang kami anggap laik tampil. Hore!
Kali ini aku akan menguraikan sedikit tentang salah satu percobaan yang telah kami lakukan. Percobaan ini bukanlah hal baru, jadi kami bukanlah orang pertama yang pernah memulainya tetapi sudah ada seseorang yang telah melakukannya, entah kapan dan di mana. Aku lupa.
Kami memberi nama percobaan tersebut dengan judul 'Pentingnya Bicara Positif'. Tentu pembaca berpikir, kenapa kami memilih topik seperti ini ? Apa yang mendasarinya? Apa pula hubungannya dengan Sains? Nah, itu dia! Kami berusaha mencari tahu.
Kami melakukan prosedur percobaan yang boleh dibilang hampir sama dengan percobaan terdahulu. Berikut adalah langkah-langkahnya :

1) Kami memasukkan nasi putih secukupnya (dari beras yang sama) ke dalam dua buah toples A dan B.
2) Sebelum toples A ditutup, kami mengucapkan kata-kata positif kepada nasi tersebut dengan nada lembut, seperti : subhanalloh, sayang, cantik, I love you, dan lain-lain.
3) Sebaliknya untuk nasi di toples B kami mengucapkan kata-kata negatif dengan nada menyentak/tinggi, seperti : nakal, jelek, bodoh, kurang ajar dan lain-lain.
4) Nasi yang terdapat dalam toples tertutup A dan B kami biarkan selama kurang lebih 6 hari.

Singkat cerita. Enam hari berlalu. Pada hari ke-6 kami membuka masing-masing toples. Apa gerangan yang akan terjadi? Jantung kami jadi dag-dig-dug-der.
Saudaraku, terus terang semula kami ragu dan khawatir jika percobaan ini tidak berhasil. Kami beranggapan mana mungkin ada pengaruhnya berbicara kepada benda mati. Kami was-was jika hasil yang diperoleh sama saja alias sami wae. Namun kami menjadi tercengang setelah melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri.
Tak disangka saat toples A dibuka, kami mendapatkan hasil yang menakjubkan! Kami perhatikan bahwa seluruh permukaan nasi ditutupi oleh jamur yang berserabut berwarna putih-krem. Bentuknya seperti kapas. Kami tak tahu jamur jenis apa gerangan. Yang jelas, indah nian dipandang mata. Selain itu nasi tersebut baunya harum seperti wangi tape atau wangi kulit jeruk.
Namun lain halnya dengan nasi dalam toples B. Di beberapa bagian permukaan nasi, tampak tertutupi oleh jamur-jamur yang berwarna hitam, bergumpal-gumpal. Jika dilihat dengan seksama nasi tampak berair/lembek. Baunya pun menusuk hidung seperti bau busuk atau nasi basi.

Subhanalloh! Mulut kami menganga lebar seolah tak percaya dengan apa yang kami dapati. Ternyata terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara toples A dan B. Ternyata begitu besar pengaruh kata-kata.
“Kok bisa begitu ya sayang?” sahutku kepada gadis cilikku.
“Iya, Ma. Kok bisa ya?” Jawab bungsuku mengikuti.
Kami bertatapan keheranan.
Wah! Ternyata dahsyat sekali mulut kita ini. Kita tak boleh sembarangan bicara. Jika terhadap nasi yang dianggap benda mati saja 'ada' bahkan ‘sangat besar’ pengaruhnya, apalagi kepada sesama manusia? Yaa Rabb, ampunilah kami.
Pantaslah Nabi yang mulia, Rasulullah SAW berpesan kepada kita semua, “Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)
Tak heran ada istilah silent is golden, hati-hati dengan mulut buaya(rayuan), mulutmu harimaumu, lidah lebih tajam daripada pisau dan masih banyak lagi. Karena memang, kata-kata punya kekuatan yang luar biasa.
Ini cambuk buatku untuk lebih sopan dan santun dalam berkata-kata kepada orang lain. Ini tamparan buatku untuk lebih halus dan lembut ketika berbicara kepada orang-orang terdekat yang sangat aku cintai. Suami, anak-anak, orang tua, dan keluarga. Ini sebuah pelajaran berharga yang harus aku petik hikmahnya. Jangan lagi bicara yang tidak perlu dan meremehkan. Usah lagi mengeluarkan kata-kata yang kotor dan menyakitkan. Tinggalkan keburukan.
Kita tahu, setiap ada sebab pasti ada akibat, setiap ada aksi pasti akan timbul reaksi. Maka, mungkinkah udara yang keluar dari mulut yang berbicara postif mengandung rangkaian molekul yang cantik, sehingga hasil yang diperoleh pun rupawan? Ataukah akan terjadi untaian molekul yang sebaliknya jika kata-kata yang dikeluarkan adalah negatif? Ah, aku masih belum tahu. Aku berharap semoga suatu saat kelak akan ada seseorang yang akan menelitinya. Aamiin.
Wallohu'alam bishshowaab.
(mkd/bintaro/27.04.2012)

Lainnya (Arsip)

Senin, 23 April 2012

JANGAN GELAPKAN YANG SUDAH TERANG...

Habis Gelap Terbitlah Terang. Demikian judul buku yang ditulis oleh Raden Adjeng Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia. Dan kita tak bisa menutup mata terhadap sejarah yang mencatat perjuangan beliau dalam menempatkan kaum wanita pada hak dan kewajiban yang semestinya.
Jangan gelapkan yang sudah terang. Ini bukanlah judul sebuah buku, tapi mungkin akan dituliskan oleh Kartini bila beliau masih hidup di jaman sekarang, dimana emansipasi banyak disalahartikan, juga disalahtempatkan. Emansipasi sering dipahami sebagai sebuah kebebasan yang seolah tidak ada aturan. Sungguh, kebebasan yang kebablasan.
Atas nama seni dan kebebasan berekspresi, beberapa wanita masa kini rela bahkan ada yang bangga dirinya menjadi objek bahkan pelaku pornografi dan juga pornoaksi. Astaghfirulloh. Jika hari ini R.A. Kartini masih hidup, tentu beliau akan menangis sedih melihat degradasi moral kaumnya yang tragis. Benar-benar membuat miris.
Pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal tertentu memang iya, tapi dalam beberapa hal lainnya, tetap ada perbedaan antara pria dan wanita, baik hak maupun kewajibannya.
Dalam hal pendidikan, pria maupun wanita memiliki hak yang sama untuk mendapatkannya. Bahkan Islam bukan hanya memandang ini sebagai hak, tapi kewajiban. Di berbagai riwayat, dapat kita temukan hadist yang menyebutkan kewajiban setiap muslim ( laki-laki dan perempuan ) menuntut ilmu, sejak masih dalam buaian hingga masuk dalam kuburan. Mengapa? Jawabannya ada pada hadist nabi lainnya, "Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.Bukhari dan Muslim)
Jadi apa yang dulu R.A. Kartini perjuangkan adalah hal yang benar dan mulia. Tidak semestinya kaum wanita diperlakukan beda dalam hal mendapatkan pendidikan. Dan hasil perjuangan beliau sangat dirasakan sekali oleh kaum wanita masa kini. Berbagai prestasi, baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan bukan lagi mutlak milik kaum pria. Banyak kaum wanita yang mampu menunjukan prestasi cemerlang melebihi laki-laki. Dan ini tidak masalah, tidak pula dilarang.
Yang menjadi masalah adalah ketika ada yang menuntuk haknya ( dengan dalih emansipasi ) tapi melupakan fitrahnya ataupun melalaikan kewajibannya sebagai perempuan.
Apapun prestasi di luar rumah, seorang istri tetap berkewajiban mengurus rumah tangganya. Apapun prestasi akademik yang dimilikinya, seorang istri harus tetap hormat dan patuh pada suami ( sepanjang dalam hal kebaikan dan kebenaran ). Setinggi apapun karir yang diraihnya, seorang ibu bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Seorang anak wajib berbakti pada orang tuanya.
Prestasi dalam pendidikan maupun pekerjaan tidak serta merta merubah fitrah seorang perempuan. Tidak pula menggugurkan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat dan juga negaranya. Emansipasi boleh jadi memberikan hak tapi tidak menghilangkan kewajiban seorang wanita. Ini yang terkadang kurang dipahami dengan baik oleh beberapa wanita masa kini. Bersenjatakan satu kata yaitu emansipasi ditambah lagi hak asasi, mereka beranggapan pria dan wanita sama, dalam segala hal, segala perkara. Tapi anehnya, ketika mereka terpojok, keluarlah senjata pamungkasnya “Saya ini kan wanita, jangan disamakan dengan pria!
Majulah wahai saudari-saudariku, gunakan hak-hakmu untuk meraih mimpi dan cita-citamu tanpa harus mengabaikan fitrahmu, melalaikan kewajibanmu. Kartini, dengan perjuangannya, telah memberikan cahaya terang bagi kaummu, karenanya jangan gelapkan lagi yang sudah terang dengan perilaku burukmu. Kartini berjuang untuk meninggikan derajatmu, mendapatkan hak-hakmu, bukan untuk melawan kodratmu, bukan pula menghapus kewajibanmu. Jagalah terang yang telah Kartini persembahkan agar tetap bercahaya. Jangan biarkan nafsu mengembalikanmu pada kegelapan yang gulita.