Minggu, 23 Agustus 2009
Tersenyum Dong, Bang Willy !
oleh Sabrul Jamil Selasa, 18/08/2009 14:02 WIB Cetak | Kirim | RSS
Selalu begini kejadiannya. Saya diminta buru-buru, eh ternyata yang meminta belum siap.
”Abi, katanya mau nganterin beli mendoan?” kata istriku.
”Ok!” jawabku. Kutinggalkan komputer begitu saja. Tak sampai 1 menit, aku sudah standby duduk manis di atas Revo-ku yang ganteng. Tapi, lho, mana itu istriku yang tadi mengajak – lebih tepatnya menyuruh – saya buru-buru? Jadilah saya harus menunggu. Apa semua perempuan memang senang ditunggu? Ah, enggak tahu. Samplenya baru satu, jadi ya saya enggak bisa menyimpulkan apa-apa.
Saat menunggu itulah dari kejauhan kulihat Bang Willy . Wah, naik motor siapa dia? Perlahan motornya melaju ke arahku. Aku pun memasang wajah ramah, siap-siap tersenyum. Tapi .. dia lewat begitu saja! Melewatiku, yang memandangnya dengan heran (mungkin dengan mulut agak ternganga). Begitu herannya, sampai-sampai aku tak sempat berseru, mengucapkan salam atau apalah. Bang Willy lewat, dengan wajah dibuat begitu rupa miring ke arah yang tidak menatapku.
Aku masih heran ketika akhirnya istriku muncul dari dalam rumah, dan mengambil posisi di boncengan. Aku tidak bertanya kenapa dia lama sekali. Tidak perlu kan? Kan sudah biasa? Aku malah bercerita prilaku Bang Willy yang menurutku tidak wajar. Istriku malah menjawab, ”Bukannya sudah biasa?”
Bang Willy adalah salah seorang orang tua murid. Artinya, anaknya disekolahkan di sekolah kami, Majelis Anak Sholeh. Pekerjaannya Satpam kompleks. Pekerjaan yang memberinya seragam yang membuat ia tampak gagah. Karena kami tahu gaji Satpam kompleks tidaklah besar, kami memberikan keringanan uang masuk sekolah dan SPP untuk anaknya. Keringanan ini bukan dari kami sebenarnya, tapi dari teman-teman kami yang telah bersedia menyisihkan dananya ke kami, untuk kami kelola.
Dan bukan tanpa sebab kalau istriku menjawab dengan kalimat tanya, ”Bukannya sudah biasa?”
Memang bukan kali ini saja Bang Willy bersikap seolah tidak melihat kami ketika berpapasan. Kadang ia ramah, kadang ia seperti asyik dengan pikirannya sendiri. Mana yang lebih sering? Ah, aku tak pernah menghitung. Buat apa, coba? Tapi biasanya, ia bersikap tak wajar jika sedang ada masalah.
Pernah suatu ketika, Lia, anak Bang Willy , datang ke sekolah sambil menangis. Dengan tersedu-sedu ia bercerita bahwa Bapak dan Ibunya baru saja bertengkar. Ibunya mengancam akan pulang kampung saja. Masalahnya berbagai macam. Tapi ujung-ujungnya selalu soal uang. Mana Bang Willy hobi merokok. Begitu pengakuan sang istri pada suatu hari lainnya.
Apakah karena Bang Willy tahu bahwa istrinya sering menceritakan kekurangannya kepada kami, sehingga ia sering bersikap pura-pura tidak melihat kami? Entahlah.
Apakah kami marah karena Bang Willy bersikap seperti itu?
Ah, sikap kami kan tidak harus dikendalikan oleh sikap orang lain. Maksudnya? Maksudnya adalah hanya karena orang lain bersikap tidak baik terhadap kita, apakah kita juga jadi harus bersikap sama kepada orang itu? Banyak pilihan dalam bersikap. Kita boleh memilih sesuai keyakinan kita.
Karena itulah, setelah kejadian kemarin itu, ketika Lia datang ke rumah hendak memetik daun saga untuk obat sariawan, kami tetap memberinya. Bahkan kami berikan Sari Kurma yang katanya manjur buat berbagai macam penyakit.
Kami mungkin tidak bisa mengubah Bang Willy . Karena, seperti Allah sendiri yang bilang, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka. Tapi kami bisa mengendalikan sikap dan prilaku kami sendiri. Karena sesungguhnya, wahai Bang Willy , pada akhirnya ini adalah urusan antara kami dengan Tuhan kami.
Jatikramat, 15 Agustus 2009
http://sabruljamil.multiply.com
http://facebook.com/sabrul.jamil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar