Minggu, 24 Januari 2010

antara keluarga atau kerja ..............


Masalah memilih antara keluarga atau kerja memang isu dilematis yang klasik. Banyak orang merasa terjebak, khususnya karyawan. Masalahnya, jika ia memilih pekerjaan maka ia harus mengorbankan prioritas bagi keluarganya. Tetapi jika ia memilih keluarga, maka waktunya untuk kerja menjadi tidak maksimal. Saran saya. Langkah terbaik sebenarnya bukan memilih antara A ATAU B, tetapi A DAN B. Untuk itu, solusinya tidak terletak pada cara bekerja dan pola pikir yang sekarang dipakai. Einstein mengatakan, “Suatu masalah tidak bisa dipecahkan, pada level dimana masalah itu tercipta”. Dengan kata lain, kita harus menggunakan level berpikir lain untuk melihat permasalahan ini. Level berpikir yang dimaksud termasuk memetakan kembali pola kerja kita dalam memprioritaskan waktu untuk tugas kita. Bisa jadi, selama ini teknik pengaturan waktu di kantor begitu inefektif sehingga menghabiskan banyak waktu. Akibatnya, kita jadi tidak punya waktu untuk keluarga lagi. Perlu bagi kita untuk melihat ulang secara total, mana waktu yang seringkali tersia-siakan sehingga jadi kehilangan waktu bagi keluarga. Sama seperti ilustrasi mengenai wadah yang diisi pasir (masalah kecil) dan batu (masalah besar). Kita harus menata ulang. Intinya, harus dimulai dari awal lagi, cara kita mengisi dan menata wadah kita. Sebagai ilustrasi, pernah terjadi seorang manager wanita yang cukup sukses, setelah menikah masih tetap saja bekerja hingga larut malam. Suatu hari suaminya memberikan ultimatum, “Bekerja hanya boleh sampai jam 6 atau keluar saja dari perusahaan, untuk mengurusi keluarga”. Dengan ultimatum ini, akhirnya si manager bercerita bagaimana ia terpaksa menanta ulang semua pekerjaannya. Toh akhirnya, sudah setahun lebih ternyata ia bisa pulang tepat jam 6. Tetapi semua pekerjaannya bisa selesai. Salah satunya ia cerita, terlalu banyak waktu dihabiskan dengan mencari kesana-kemari arsip filenya yang berantakan, ada beberapa pekerjaan yang ternyata ia bisa delegasikan, dll. Begitu juga pengakuan yang sama datang dari seorang Assistant Vice President (AVP) suatu bank yang terkena penyakit liver gawat sehingga ia disarankan dokter menata load kerjanya. Sejak itu, ia belajar untuk membalance hidupnya. Toh akhirnya, ia mengatakan lebih bahagia karena bisa menata waktu lebih baik, untuk keluarga maupun karirnya. Berbagai kisah ini menggambarkan masalah fundamental dibalik prioritas antara keluarga atau karir seringkali terletak pada masalah pengaturan waktu yang buruk. Dengan pola pengaturan waktu yang buruk, maka terjadilah masalah dimana kita akhirnya diharapkan untuk memilih antara kerja atau keluarga. Pola pengaturan waktu itulah yang pertama-tama harus diselesaikan. Untuk itu, kita bisa belajar mana waktu yang seringkali tersia-siakan (misalkan datang ke kantor, tapi chit-chat terlalu banyak sehingga jam kerja pun terpakai sia-sia, bisakah pekerjaan yang sebenarnya didelegasikan, atau misalkan membuat perencanaan serta filing system yang baik sehingga tidak banyak waktu tersia-siakan). Termasuk juga kalau ada waktu senggang, antisipasilah pekerjaan yang akan jadi krisis, sehingga kita tidak terus terjebak dengan pekerjaan krisis melulu yang akan mengakibatkan kita tidak pernah punya waktu lagi untuk keluarga. Di sisi lain, menjadi karyawan STAR tidaklah melulu soal waktu yang dikeluarkan tetap bagaimana soal memberikan kontribusi dan kemampuan yang membuat kita berharga bagi perusahaan. Kuncinya adalah soal disiplin yang kita bangun dalam diri kita. Saya masih ingat kisah Mary Ash Kay, pemimpin bisnis terkemuka yang di tengah-tengah waktu saat anaknya tertidur ia berusaha menelpon untuk selling dan menggunakan waktunya untuk belajar. Kebanyakan dari kita, waktu kosong dipakai untuk berleha-leha, bersantai. Akibatnya, saat kantor atau tuntutan kerja tiba, kita jadi kelabakan dan krisis berkepanjangan. Kalausaja kita bisa memaksa diri untuk berdisiplin dengan baik, maka keseimbangan antara karir serta keluarga bukanlah hal yang mustahil. Terakhir, tentunya soal quality time yang kita berikan untuk keluarga. Quality time tersebut haruslah betulbetul dipergunakan untuk bersama kelurga dan total sepenuh hati diberikan. Ada seorang bapak yang mengatakan memberikan waktu untuk keluarga, tetapi sesampainya di rumah, si bapak ini baca koran sementara anaknya main-main. Yang seperti inipun percuma. Mau punya waktu satu haripun, tidak akan bermanfaat karena hanya tubuhnya yang hadir, jiwanya tidak. Jadi salah satu hal penting bagi keseimbangan keluarga yang lain adalah soal memberikan jiwa dan raga saat mengerjakan tugas kita maupun saat berada di rumah. Demikianlah, kalau kita mencoba mendisiplinkan diri kita untuk hal ini, maka saya yakin sebenarnya kita bisa menciptakan keseimbangan antara keluarga dengan kerja yang lebih baik. Akhirnya penting untuk merenungkan apa yang dikatakan oleh John Robbins & Ann Mortifee dalam buku In Search of Balance, “Tugas kita adalah mencapai keseimbangan dan menyeimbangkan lagi (balancing & rebalancing). Sama seperti jika satu kaki kita tak seimbang, jangan dipaksakan lagi. Lebih baik berhenti. Rencanakan ulang, tentukan pola baru baru selanjutnya melangkah lagi!”...............