BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM
Muhammad Husain Haekal
Sumber
peradaban pertama - Agama Yahudi dan Kristen
- Sekta-sekta
Kristen dan Pertentangannya - Majusi
Persia di
jazirah Arab - Jalan-jalan kafilah - Yaman
dan
peradabannya - Sebabnya Jazirah bertahan pada
paganisma.
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan
dari mana
pula
asal-usulnya, sebenarnya masih
ada hubungannya dengan
zaman kita sekarang
ini. Penyelidikan demikian
sudah lama
menetapkan,
bahwa sumber peradaban itu sejak
lebih dari enam
ribu tahun yang
lalu adalah Mesir.
Zaman sebelum itu
dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh
karena itu
sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan
yang ilmiah.
Sarjana-sarjana
ahli purbakala (arkelogi)
kini kembali
mengadakan penggalian-penggalian di
Irak dan Suria
dengan
maksud
mempelajari soal-soal peradaban
Asiria dan Funisia
serta
menentukan zaman permulaan
daripada kedua macam
peradaban
itu: adakah ia
mendahului peradaban Mesir masa
Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia
menyusul masa
itu dan terpengaruh karenanya?
Apapun
juga yang telah
diperoleh sarjana-sarjana
arkelogi
dalam bidang
sejarah itu, samasekali
tidak akan mengubah
sesuatu dari
kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan
hasil yang berlawanan.
Kenyataan ini ialah
bahwa sumber
peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau
Asiria -
ada
hubungannya
dengan Laut Tengah; dan bahwa
Mesir adalah pusat
yang paling menonjol membawa peradaban pertama
itu ke
Yunani
atau
Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup
kita
sekarang ini, masih
erat sekali hubungannya
dengan
peradaban pertama itu.
Apa yang pernah
diperlihatkan oleh Timur
Jauh dalam
penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah
memberi
pengaruh yang
jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban
Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah
mengubah tujuan
dan
perkembangan
peradaban-peradaban tersebut. Hal
ini baru
terjadi sesudah
ada akulturasi dan
saling-hubungan dengan
peradaban
Islam. Di sinilah
proses saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi
yang sudah
sedemikian
rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban
dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan
tersebar
ke
pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di
Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu,
yang sampai
saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam
bidang pertanian,
perdagangan,
peperangan dan dalam segala
bidang kegiatan
manusia.
Tetapi, semua peradaban
itu, sumber dan
pertumbuhannya,
selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa
sumber itu
berbeda-beda antara kepercayaan
trinitas Mesir
Purba yang tergambar
dalam Osiris, Isis
dan Horus, yang
memperlihatkan
kesatuan dan penjelmaan
hidup kembali di
negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa
kepada anak,
dan antara paganisma
Yunani dalam melukiskan
kebenaran,
kebaikan
dan keindahan yang
bersumber dan tumbuh
dari
gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian
sesudah
itu
timbul perbedaan-perbedaan yang
dengan penggambaran
semacam
itu dalam pelbagai
zaman kemunduran itu
telah
mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi
sumber
semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan
sejarah dunia,
yang
begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak mencoba
melepaskan diri
dan
melawan sumbernya sendiri itu
dari zaman ke zaman. Siapa
tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam
lingkungan masyarakat ini,
yang menyandarkan
peradabannya
sejak ribuan tahun
kepada sumber agama, dalam
lingkungan
itulah dilahirkan para
rasul yang membawa
agama-agama
yang kita kenal
sampai saat ini.
Di Mesir
dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan
dan
diasuh,
dan di tangan
para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan
rahasia-rahasia
alam.
Setelah datang
ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat
di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya:
"Akulah
tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan
Firaun sendiri
dan tukang-tukang
sihirnya, sehingga akhirnya
terpaksa ia
bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke
Palestina.
Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan
Firman Allah
yang
ditiupkan ke dalam
diri Mariam. Setelah Tuhan menarik
kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian
menyebarkan
agama
Nasrani yang dianjurkan
Isa itu. Mereka
dan
pengikut-pengikut
mereka mengalami bermacam-macam
penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan
agama ini
tersebar,
datanglah Maharaja Rumawi
yang menguasai dunia
ketika itu, membawa
panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan
Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah
agama ini di
Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan
Yunani, dan
dari Mesir menyebar
pula ke Ethiopia.
Sesudah itu selama
beberapa abad kekuasaan
agama ini semakin kuat juga.
Semua
yang berada di bawah panji Kerajaan
Rumawi dan yang
ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan
Kerajaan ini,
berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di
bawah panji
dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama
Majusi di
Persia yang mendapat dukungan moril
di Timur Jauh
dan di
India.
Selama beberapa abad
itu Asiria dan
Mesir yang
membentang
sepanjang Funisia, telah
merintangi terjadinya
suatu
pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban
Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan
Funisia
ke dalam
lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan
itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur
sekarang sudah
berhadap-hadapan
muka. Selama beberapa abad berturut-turut,
baik Barat maupun Timur, dengan hendak
menghormati agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan
rintangan alam,
kini telah berhadapan dengan rintangan
moril, masing-masing
merasa
perlu dengan sekuat
tenaga berusaha mempertahankan
kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling
mempengaruhi
kepercayaan
atau peradabannya, sekalipun
peperangan antara
mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan
Rumawi
dan dapat menguasai
Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium, namun
tak terpikir oleh
raja-raja
Persia akan
menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat
agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini
berkuasa itu malahan
menghormati
kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah
ibadat mereka yang sudah hancur akibat
perang dibantu pula
membangun
kembali dan dibiarkan
mereka bebas menjalankan
upacara-upacara
keagamaannya. Satu-satunya yang
diperbuat
pihak Persia
dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan
dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu
berganti
berada di pihak
Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari
tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di
Barat itu
tetap di Barat
dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian
rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam
dan kedua
kekuatan itu dari segi rohani tidak saling
berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad
keenam. Dalam
pada itu pertentangan antara Rumawi
dengan Bizantium makin
meruncing.
Pihak Rumawi, yang
benderanya berkibar di benua
Eropa sampai ke Gaul
dan Kelt di
Inggris selama beberapa
generasi dan selama zaman Julius Caesar yang
dibanggakan dunia
dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu
berangsur-angsur telah
mulai surut,
sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan
kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan
Rumawi yang
menguasai
dunia itu. Puncak keruntuhan
Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang
menyerbunya dan
mengambil
kekuasaan pemerintahan di
tangannya. Peristiwa ini
telah menimbulkan bekas yang dalam
pada agama Masehi
yang
tumbuh dalam pangkuan
Kerajaan Rumawi. Mereka
yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami
pengorbanan-pengorbanan
besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan
Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari
zaman ke
zaman mazhab-mazhab itu
telah terbagi-bagi ke
dalam
sekta-sekta
dan golongan-golongan. Setiap
golongan mempunyai
pandangan dan
dasar-dasar agama sendiri
yang bertentangan
dengan
golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara
golongan-golongan satu sama lain karena
perbedaan pandangan
itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang
terbawa
oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah,
sehingga cepat
sekali ia berada
dalam ketakutan, mudah
terlibat dalam
fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa
itu, di
antara golongan-golongan Masehi itu ada yang
mengingkari bahwa
Isa
mempunyai jasad disamping
bayangan yang tampak
pada
manusia;
ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara
jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga
memerlukan khayal
dan
pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya;
dan
disamping itu ada
pula yang mau
menyembah Mariam,
sementara
yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.
Terjadinya pertentangan antara sesama
pengikut-pengikut Isa
itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat
dan
zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya
hanya
terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan
pada tiap
kata dan tiap
bilangan itu ditafsirkan
pula dengan
bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia,
ditambah
dengan warna-warni khayal yang sukar diterima
akal dan
hanya
dapat
dikunyah oleh
perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku
saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh
penjuru kota
itu
diliputi oleh perdebatan.
Orang dapat melihatnya dalam
pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian,
penukaran uang,
pedagang
makanan. Jika ada
orang bermaksud hendak menukar
sekeping emas, ia akan
terlibat ke dalam
suatu perdebatan
tentang
apa yang diciptakan
dan apa yang bukan diciptakan.
Kalau ada orang
hendak menawar harga
roti maka akan
dijawabnya:
Bapa lebih besar
dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang
kolam mandi
adakah
airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi
sehingga ia
terpecah-belah
kedalam golongan-golongan dan
sekta-sekta itu
dari segi politik
tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap
Kerajaan
Rumawi. Kerajaan itu
tetap kuat dan
kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah
naungannya dengan
tetap
adanya semacam pertentangan
tapi tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai
memasuki
pertemuan-pertemuan
semacam itu yang
pernah diadakan guna
memecahkan
sesuatu masalah. Suatu
keputusan yang pernah
diambil
oleh suatu golongan
tidak sampai mengikat golongan
yang lain. Dan
Kerajaanpun telah pula
melindungi semua
golongan
itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan
polemik, yang
sebenarnya telah menambah
kuatnya kekuasaan
Kerajaan
dalam bidang administrasi tanpa
mengurangi
penghormatannya
kepada agama. Setiap
golongan jadinya
bergantung
kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya
pengakuan
pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium
itu
itulah pula yang menyebabkan penyebaran
agama Masehi tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah
Rumawi sampai
ke
Ethiopia yang merdeka
tapi masih dalam
lingkungan
persahabatan dengan Rumawi.
Dengan demikian ia
mempunyai
kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah
seperti di
sekitar
Laut Tengah itu. Dari wilayah
Syam ia menyeberang ke
Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan
yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai
ke pantai
Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang
berpindah dari
pedalaman
sahara yang tandus
ke daerah-daerah subur juga
demikian,
yang selanjutnya mereka
tinggal di daerah
itu
beberapa
lama untuk kemudian hidup di
bawah kekuasaan Persia
Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula
mengalami
kemunduran
seperti agama Masehi dalam
Imperium Rumawi. Kalau
dalam agama Majusi menyembah api itu
merupakan gejala yang
paling menonjol,
maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan
pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga
menjadi
golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini
bukan
tempatnya menguraikan semua
itu. Sungguhpun begitu
kekuasaan politik Persia
tetap kuat juga. Polemik keagamaan
tentang
lukisan dewa serta
adanya pemikiran bebas
yang
tergambar
dibalik lukisan itu,
tidaklah mempengaruhinya.
Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua
berlindung
di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat
pertentangan
itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu
cara
supaya
satu dengan yang
lain saling berpukulan, atas dasar
kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka
Raja atau
salah satu golongan itu akan memikul akibatnya. Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu
ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat
berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua
kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah
Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat
ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu
masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya
ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya.
Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis
yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada
beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai
terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi,
kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala
demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita
lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya
terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan
dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.
Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke
sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur
Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke
sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke
sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan
daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan
dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan
rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan
penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga
karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu
melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu
kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah
tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah
merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah
sungaipun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan
pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu.
Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang
sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah
Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi,
lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang
akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan.
Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup
mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai
kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil
mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat
sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya,
sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat
lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang
badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari
bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di
daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak
di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata
air.
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti
Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup
menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula
dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah
itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan
menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak
seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak.
Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal
karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau
menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak
mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu
telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun
dapat bertahan diri.
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan
guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran.
Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang
menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama
seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk
mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain
mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor
perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara
Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah
Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang
diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat
terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu
wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu
menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada
masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air
daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula
bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan
para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama
halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis
perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu
bukan dibiarkan begitu saja," kataHeeren, "tetapi sudah
menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir
yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam
telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka,
terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat
mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan
pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di
sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat
menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan
itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi
gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai
sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan
atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat
itu."1
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang
penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan
Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah
timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang
sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu
diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi
barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di
Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu
mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang
negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu.
Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat
maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya -
kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya.
Sedang mereka yang berani secara untung-untungan
mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di
tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa
hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung
tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan
suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga
orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal
unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah
pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran
tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah
biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat
menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup
dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib
kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan
setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan
dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau
ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan
bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada
yang lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu
memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas
dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan
permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak
mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik
perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal
dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad
s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal
sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat
itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang
sudah mulai dikenal dunia.
Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu
selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan
Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh
adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja,
tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti
jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus. Dunia tidak
tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan
mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya
kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan
turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri
peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan
tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk
jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa
yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami
bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut.
Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air
hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
Sebelum di bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras
terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur
turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota
Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah
gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu
sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di
Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga
hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai
Nil. Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk
Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan
Ma'rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah
yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan
adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki
dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah
diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih
diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu
saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga
sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami
bencana.
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan
negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan
juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari
keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari
kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari
berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa
(Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang
Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang
disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam
kisah "orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan
turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat
parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di
tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu
mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya
karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi
Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan
Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota
itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka
makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai
kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada
penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan
dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit
dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit
itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan
pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah
korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah
seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu
Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar
Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak
Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat
kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap
raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin
oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya.
Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang
kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya.
Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan
yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan
Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan
bersama orang Yaman itu - yang membawa surat - sepasukan
tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram
salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas
nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia
dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya.
Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang
kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka'bah tetapi
gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.
Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindakan
sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa
penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja
Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya
mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena
adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan
Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin
Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan
pergi menemui Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang
diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3
Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap
Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi
(Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti
pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini
dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah
sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil
terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air
tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar
berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan
perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri
memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat
itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga
halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun
bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada
mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan
juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah
seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia
telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat
diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan
ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam
naungan agama baru ini.
Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu
tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal
itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh
ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia
membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia
dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya
membantu memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup
kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang
tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya
sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum
pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda
ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi
oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau
yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak
yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan
pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim
semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia
beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar
dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami
bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh
semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti
kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan
kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan
naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan
kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin
memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad
ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali
dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian
penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh
suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan
negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan
oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah
mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya.
Bendungan itu lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir.
Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat Yaman menjadi
pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa
perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun
menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir
dengan negeri-negeri Timur yang jauh - guna menarik
perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian
tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi
mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan
pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan
ini, sekalipun sebagian menghubungkannya dengan sepinya
beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa
melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan kepada
rusaknya bendungan Ma'rib, sehingga banyak di antara
kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun
juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan
Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya,
suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang
masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti
yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang
menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan
pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal
pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu.
Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti
pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di
daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang
dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian
demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan
sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di
kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat.
Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan
hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain
pengembaraan itu.
Seperti juga ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup
pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau
tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah
yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib mau
mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk
kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas
ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang
pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun -
seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan
yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau
kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah
seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah
ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan
ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau
melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan,
ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka
mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus
demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah
bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat.
Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian
besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian,
suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan
makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan
pedalaman, dan akan makin hilang apabila semakin dekat ia
kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik
Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja
dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu.
Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk
kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah
tidak akan taat kepada peraturan apapun yang berlaku atau
kepada lembaga apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang
kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena adanya
perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan.
Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat
beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di
situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa
guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan
marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka
selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu
seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung
atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat
pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta
cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta
kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih
dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di
kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang
menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman.
Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut
ini akan terlihat agak lebih terperinci.
Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan
moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai
pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat
hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia,
adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan
sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah Arab
lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama
mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu
sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan
agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup
kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan
kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan
adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia
merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan
alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota
ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya
hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap
dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan
sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada
undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak
perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu
berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan
alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan
jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi
berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen
dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan
dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya
hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya
soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu,
termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama
nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau
menerima agama Kristen.
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu -
seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar Laut
Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi
bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya
tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak
memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang
Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut
adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama
mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus
agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan
yang masih berlindung dibawah panji Imperium Rumawi yang
membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum
imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan
Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak
sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan
moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana
saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang
di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia
itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya
sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan
peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya
martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang
bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam:
adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak
yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya
apa yang sudah biasa berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang
diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga
akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau
akan menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam,
lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira
dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya
dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi
atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu
sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum
Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim
dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang
datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu
di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan
kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka
dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur
di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai
kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di
Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya
memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut
menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang
menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada
paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih
tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima
ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap
berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka
macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri.
Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap
berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan
dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati
mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada
dasarnya masih bersifat sofistik - dapat juga menarik
kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih
lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita
sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai
tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya
pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan
yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari
semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan
Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada
suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api
misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih
tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam
kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia
akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang
pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan
berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus,
yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh
dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam
ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya
mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma,
mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di
tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh
penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat
petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka melihat
pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga
mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada
mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah
berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa
kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah
begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir.
Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan paganisma itu dalam
agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma,
yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada
siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu
banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan
dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya.
Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan
menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja
adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu
sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam
sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad
kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda
karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam
bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah
atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan.
Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula
antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub.
Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu,
Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah
batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka
beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun
agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara
berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari
Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka
tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali,
buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara
terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal
yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa
lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti
dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang
dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat
orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan
kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing.
Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau
sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan
bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu,
baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada disekelilingnya,
begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya
dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada
dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah
kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah
berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di
antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia
tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang
terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan
mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke
tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci
sangat dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab
yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah.
Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran
Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran
pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah tetap disucikan dan
suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun
mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak
berabad-abad lamanya.
Catatan kaki:
1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.
2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.
Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga
dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de
Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn
Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan
Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela
agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah
sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini
banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat
kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar
dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
"Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu
sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan
berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan
Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda
tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab
Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus
berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang
sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.
Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali
menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi
di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang
Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan
merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ
berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar
Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang
pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia
merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah
memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang
beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan
berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang
mengusir mereka.