Minggu, 24 Januari 2010

BERANI, LAWAN ODET CODET?

Seorang supir bis Patas AC jurusan Blok M - Kota diam-diam trauma dengan halte Benhil. Pasalnya, setiap hari dari halte itu naik seorang pemuda sangar: badannya gede, hitam, penuh tato. Tapi bukan penampilannya yang traumatis, melainkan kebiasaan ajaib pemuda itu saat masuk bis. Ia langsung berdiri di tengah, dan bicara keras-keras, “Saya Odet Codet..! Odet Codet tidak bayaarrr…”
Sudah tidak bayar, pakai pengumuman, lagi. Supir kita dongkol campur malu, wibawanya dilecehkan di depan seluruh penumpang. Tapi melihat tongkrongan Odet Codet, ia tidak berani berkutik. Padahal, setiap hari kejadian itu berulang. Bis berhenti di halte Benhil, Odet Codet naik, lalu pengumuman, “Saya Odet Codet! Odet Codet tidak bayaarrr…”
Lama-lama supir tidak tahan. Ia menghadap boss, minta cuti sebulan untuk belajar ilmu bela diri, kebatinan dan kanuragan di Banten. Berguru pada salah seorang jawara paling kondang di sana, ia digembleng habis-habisan. Syarat puasa mutih dan tidur di kuburan dijabani. Tak heran dalam waktu sebulan si supir sudah sakti mandraguna bahkan kebal bacok.
Ia pulang ke Jakarta dan kembali menyusuri trayek Blok M - Kota. Kali ini dengan rasa percaya diri, bahkan penasaran menunggu Odet Codet naik ke bisnya.
Akhirnya yang ditunggu tiba. Bis berhenti di Benhil, dan naiklah Odet Codet. Seperti biasa, “Saya Odet Codet! Odet Codet tidak bayaarrr…”
Kali ini supir tidak tinggal diam, “Apa-apaan kau tidak bayar, kau kira ini bis moyangmu? Ayo bayar!” Supir menggertak sambil menggulung lengan baju. Seluruh penumpang kaget.
Odet Codet juga kaget. Ia terdiam. Penumpang lain lebih diam, bernafas pun tak berani. Sesaat suasana hening. Sampai akhirnya Odet Codet menjawab,
“Saya Odet Codet, Odet Codet tidak bayar, Odet Codet punya voucher...”
xxx
Ilustrasi di atas memang fiktif belaka (mana ada voucher buat naik bis Patas AC?), tapi coba bayangkan kira-kira apa yang terlintas di benak supir. Malu, karena selama ini sudah salah sangka? Kesal, karena sudah capek-capek pergi sebulan ke Banten tanpa hasil?
Apapun ketidakenakan yang ia rasakan, sebenarnya tidak perlu terjadi andaikan sejak awal ia bereaksi secara tepat.
Saat kontak pertama dengan Odet Codet, supir bersikap submisif. Waktu Odet Codet (dikiranya) melanggar aturan dengan naik bis tanpa bayar, ia hanya diam, pasif, mengalah, tidak berani mengutarakan pendapat. Hati memang dongkol, tapi apa daya nyali kurang merongkol. Jelas ia keberatan dengan sikap Odet Codet, namun ia tidak berani mengemukakan.
Repotnya, setelah sebulan belajar di Banten, sikapnya kemudian berubah drastis menjadi agresif. Berlawanan dengan submisif, sikap agresif adalah sikap yang terbuka, terus terang, yang disampaikan dengan cara yang cenderung negatif seperti menghardik, membentak, atau menantang dengan tujuan ‘menyerang’ orang lain. Akhirnya, hanya gara-gara salah paham soal voucher, wibawa jatuh berantakan.
Lalu bagusnya bagaimana, dong?
Bila submisif dan agresif diibaratkan sebagai 2 kutub yang saling berlawanan, ada satu sikap yang berada di antaranya, yaitu asertif. Sikap asertif adalah sikap yang terbuka mengutarakan pendapat, namun disampaikan dengan cara yang sopan dan tetap menjaga perasaan orang lain. Segala kerepotan dan kekonyolan di atas tidak perlu terjadi bila sejak awal si sopir langsung bertanya pada Odet Codet, “Maaf Mas, untuk naik bis ini harus bayar, kecuali mungkin Mas punya voucher, barangkali...?”
Di Indonesia, asertivitas memang belum terlalu membudaya. Sebagian karena konsepnya masih dicampuradukkan dengan agresivitas. Mungkin Anda pernah dengar seseorang mengucapkan kata-kata kurang lebih sebagai berikut, “Habis makin lama tingkahnya makin nyebelin, jadi gue omongin aja terus terang. Biar kapok dia.” Artinya, keterusterangan dijadikan alat untuk ‘menyerang’, bahkan ‘balas dendam’ kepada orang lain!
Sebagian lagi rikuh bersikap asertif karena memang lebih terbiasa bersikap submisif, yang umumnya dianggap lebih ‘manis’ dan ‘sopan’. “Tadinya aku mau ngomong terus terang, tapi… nggak enak ah, nanti disangka kurang ajar…” Jadi, keterusterangan disamakan dengan pelanggaran sopan santun, sehingga kalau ingin dibilang sopan, janganlah kita berterus terang.
Selintas, mungkin sikap submisif memang nampak lebih ‘manis’ dan tidak merugikan siapapun kecuali si pelakunya sendiri yang lama-lama makan hati. Namun dalam konteks organisasi besar seperti DSP, ‘manis’-nya sikap submisif bisa berakibat fatal. Misalnya, kita mengetahui ada rekan kita yang akan melakukan kesalahan dan kita sungkan untuk menegur, lantas tiba-tiba saja kesalahan itu berdampak besar yang akhirnya merugikan banyak orang termasuk diri kita sendiri. Atau, seperti dalam ilustrasi di atas: awalnya diam-diam saja, manis dan anteng, tahu-tahu saat kesabaran telah habis terpakai, berbalik jadi menggertak kasar. Kalau gertak-menggertak sudah masuk dalam komunikasi kita, korban pertamanya sudah pasti hubungan baik antar pihak-pihak pelakunya! Padahal sebenarnya kita bisa mencegah jangan sampai hal itu terjadi.
Alasan lainnya yang membuat kita segan bersikap asertif adalah karena berharap orang lain akan mengerti sendiri apa yang kita inginkan. Pasti Anda pernah dengar seseorang (atau mungkin diri Anda sendiri) berkata, “Masa nggak ngerasa sih dia, sudah jelas-jelas saya tidak senang, kok masih ndablek juga…”?
Sekalipun di Indonesia banyak dukun buka praktek, namun tidak semua orang punya indra keenam untuk memahami kemauan kita tanpa perlu komunikasi verbal. Akhirnya, kita capek-capek sakit hati, sementara yang dituju tenang-tenang saja karena tidak ‘ngeh’ sama sekali.
Itulah sebabnya, sikap asertif sangat diperlukan, apalagi dalam lingkungan pekerjaan. Bila awalnya terasa sulit untuk memulainya, masalahnya tinggal seberapa sering kita menggunakannya agar semakin terbiasa. Di bawah ini ada beberapa point yang sebaiknya kita perhatikan sebelum bersikap asertif;
1. Pertimbangkan sikon (situasi dan kondisi)
Bicara terus terang tidak sama dengan bicara terang-terangan. Keterbukaan lain dengan main buka-bukaan. Bila masalah yang hendak Anda ungkapkan bersifat sensitif, pilihlah tempat yang cukup tertutup dan pribadi, jauh dari mata dan kuping pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Pilih juga waktunya, jangan sampai membicarakan masalah berat dengan orang yang sedang panik dikejar deadline. Bisa-bisa gantian Anda yang dikejar-kejar olehnya!
2. Masalahnya pada saya, bukan pada pihak lain.
Saat mengutarakan keberatan, usahakan untuk selalu menjelaskan posisi Anda dalam masalah tersebut, dan bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri Anda. Dengan demikian, Anda tidak terkesan menyalahkan atau mengecam lawan bicara Anda. Misalnya, saat salah satu teman mengajak Anda makan di restoran yang tidak Anda sukai, berkata,”Saya kurang cocok dengan makanan yang disajikan di sana,” lebih baik daripada, “Restoran itu kan makanannya nggak enak?!” Perhatikan bahwa pada contoh kalimat yang pertama, Anda mengutarakan keberatan yang berasal pada diri Anda (kurang cocok dengan makanannya), dan bukan pilihan itu sendiri yang salah (makanannya nggak enak). Bukankah rekan Anda mengajak Anda ke restoran itu karena ia menganggapnya restoran yang enak sekali menurut ukurannya, bukan?
3. Gunakan kata-kata positif sebanyak mungkin
Daripada berkata,”Dasi kamu norak”; lebih baik “Kalau kamu mau pakai baju ini, lebih cocok dengan dasi yang kemarin”. Dengan demikian kritik Anda selalu disertai saran yang membangun.
4. Jujur
Sekalipun Anda harus cermat memilih kata, bukan berarti Anda harus berbohong. Ada banyak alternatif cara untuk menyampaikan maksud yang sama. Intinya, dari sejumlah kata yang dapat mewakili maksud Anda, pilihlah satu yang paling nyaman didengar. Dengan demikian, metode sindir-menyindir sudah jelas tidak masuk hitungan.
5. Fokus pada tujuan!
Ingat, tujuan Anda bersikap asertif adalah untuk menyampaikan pesan, membuat orang yang Anda tuju memahami pendapat dan perasaan Anda. Jadi, nyatakan pesan dalam kalimat sederhana yang ringkas, tidak perlu berbelit-belit, tapi juga tidak perlu menghardik atau memaki-maki. Pilih kata-kata secara cermat, dan hindari perkataan yang tidak relevan dengan tujuan Anda.
Akhirnya, perlu diingat bahwa perubahan terbesar sekalipun berawal dari perubahan yang terjadi pada satu orang. Bila Anda mengidamkan lingkungan kerja yang lebih terbuka dan asertif, mulailah dari diri Anda sendiri, sekarang juga. Ok?