Rabu, 02 Juni 2010

Bercermin Kepada Orang Lain

Selalu ada saat-saat di mana perasaan saya sedemikian sesak. Selalu ada ketika di mana saya tak mampu berpikir lagi atas permasalahan yang saya hadapi. Selalu ada masa di mana saya merasa sangat menderita dan butuh teman yang menguatkan saya. Dan pada saat-saat seperti itu, saya berusaha untuk tidak menyendiri meskipun saya sangat ingin. Karena, pengalaman menunjukkan bahwa menyendiri akan membuat saya lebih terpuruk, kian menderita dan bersedih lebih dalam.

Jika saat-saat itu datang, biasanya saya menghubungi salah satu dari beberapa teman dekat untuk bertemu atau sekedar say hello via sms, telpon, imel atau messenger/chat. Tentu saja, sebagai teman baik, saya ingin curhat kepada mereka tentang perasaan saya, tentang penderitaan saya, tentang kepedihan saya, tentang permasalahan saya dan seterusnya. Atau, kadang-kadang saya bertemu mereka hanya karena sekedar ingin bertemu. Barangkali ngobrol dan makan bersama mereka akan memberikan keringanan perasaan untuk saya.

Namun ketika akhirnya bertemu (salah satu dari) mereka, sangat sering saya tidak jadi curhat atau pun mengeluh. Yang terjadi kemudian adalah lebih banyak saya yang menjadi pendengar tentang 'hidup' mereka dalam beberapa waktu terakhir. Atau kalau pun tidak tentang hidup mereka, kami tidak membicarakan perasaan atau permasalahan saya, namun ngobrol/sharing tentang aktifitas sehari-hari dan hidup secara umum dan penyikapannya.

Berhadapan dengan mereka, sering membuat saya kehabisan kata-kata. Bersama mereka, sering membuat saya merasa demikian kecil. Saya bukan apa-apa sama sekali. Bahkan saat bersama mereka, saya tak lagi merasa perlu menceritakan permasalahan saya. Apa yang saya alami, apa yang saya hadapi, apa yang saya lewati hanyalah sebuah hal remeh temeh yang tak ada artinya. Dan itu dengan sendirinya menyembuhkan rasa penderitaan dan kepedihan yang saya alami.

Mendengarkan kisah hidup mereka, mengetahui permasalahan mereka dan bagaimana mereka mengatasi hari-hari berat itu, atau bahkan hanya mendengar pemikiran mereka tentang sesuatu memberikan pelajaran bagi saya tentang hidup dan kehidupan. Pada mereka saya mengerti tentang lika-liku dunia yang tak selalu berjalan seperti harapan. Pada mereka saya tahu, bahwa begitu banyak hidup yang lain. Meski tidak saya sadari, bahkan tidak pula saya mengerti sebelumnya.

Mereka, salah satunya adalah seorang gadis dua puluh empat tahun, eks teman sekost saya yang sejak kecil sudah harus berjuang membiayai hidupnya sendiri. Sempat menjadi baby sitter untuk dapat bersekolah, kemudian bekerja di pulau seberang demi kuliah. Dia kini menjadi tulang punggung keluarganya: adik, orang tuanya, dan bahkan kakaknya yang telah berumah tangga. Dia sering merasa letih menanggung semuanya, apalagi tanpa penghargaan semestinya dari orang-orang yang ia perjuangkan. Namun saat-saat demikian ia masih sanggup berkata, "Aku harus kuat. Aku tidak boleh stress seberat apa pun permasalahan yang kuhadapi. Aku tidak boleh sakit meskipun makan hati. Demi bapak ibuku. Demi adikku. Demi kakak dan keponakanku. Demi hidup dan masa depanku sendiri."

Mereka, di antaranya adalah seorang laki-laki yang sosoknya teramat sering membuat saya terenyuh. Tubuh yang amat kurus dan sakit-sakitan. Hidupnya penuh kesulitan sejak kecil, namun dalam usianya yang begitu muda, 22 tahun, dia telah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan: sering menjuarai berbagai lomba karya ilmiah hingga tingkat nasional, memenangkan predikat remaja berprestasi, mendapat beasiswa sekolah hingga kuliah dan akhirnya lulus dari sebuah kampus negeri paling bergengsi di negeri ini dengan nilai cukup memuaskan.

Salah satu dari mereka adalah, seorang pemuda yang dengannya saya tak pernah berbicara hal-hal pribadi. Melalui obrolan kami, saya belajar banyak padanya tentang idealita, berpikir kritis-analitis dan kreatif, membangun jaringan, dan bersikap baik pada semua orang. Dia, yang sudah yatim sejak kecil. Dia yang kemampuannya menyembunyikan segala persoalan pribadi, kesukaannya bercanda, dan kedewasaannya berpikir membuatnya nampak begitu sempurna. Dia, yang dalam usianya yang baru dua puluh tiga, sudah menduduki jabatan manajer di kantornya.

Salah satu dari mereka adalah, seorang gadis dua puluh lima tahun yang selalu menjadi 'tempat sampah' bagi saudara-saudara kandungnya. Dia belum menikah, tapi dia harus menangani kakaknya yang akan menikah, bahkan harus menjadi jembatan bagi kakaknya yang hendak bercerai. Dia yang pernah berkata kepada saya dengan kepedihan mendalam, "Aku bungsu dari tujuh bersaudara, tapi mengapa aku harus menjadi si sulung yang mesti bertanggung jawab atas semua kekacauan dalam hidup mereka?" Namun toh, akhirnya dia tetap mengambil semua tanggungjawab itu dengan gagah perkasa.

Salah satu dari mereka adalah seorang pria yang saya tak tahu lagi mesti berkata apa tentang perjalanan hidupnya yang amat papa. Pria dua puluh enam tahun itu terlihat lebih tua dari usianya. Sejak kecil dia terlunta. Menderita dan mengambil tanggungjawab yang tak semestinya ketika baru memasuki usia dewasa, dan kini, harus sangat tertatih dalam karir dan rumah tangganya. Namun dalam kondisinya yang seperti itu, ia masih memiliki empati yang amat besar pada saudara. Ukhuwahnya benar-benar tak terkira. Dia selalu ringan tangan menolong saudara dan sahabatnya yang kesusahan tanpa membiarkan mereka tahu dia sendiri tengah kesulitan.

Salah satu dari mereka adalah...

Oh, masih banyak lagi yang lain, sobat baik yang menjadi cermin hidup saya. Sungguh saya merasa sangat bersyukur, Allah mempertemukan saya dengan mereka, bahkan kemudian menjadi salah satu teman dekat mereka, sahabat mereka, Insya Allah. Orang-orang yang pada mereka saya bercermin dan belajar. Tentang kesungguhan. Tentang kesabaran. Tentang keempatikan. Tentang ketangguhan. Tentang kekreatifan. Tentang penyikapan hidup. Tentang semuanya... hingga saya mengerti, dengan cermin mereka, saya dapat menyelesaikan dan menyikapi permasalahan hidup saya tanpa harus selalu curhat dan minta nasehat.

***

Azimah Rahayu
(mail azi_75 at yahoo dot com)
Paseban, 160105, untuk sobat-sobat mudaku: kalian tak pernah tahu betapa istimewa kalian bagiku!